Sudah lama Gunung Bromo -yang ada dalam paket taman nasional BTS alias Bromo Tengger Semeru- menjadi destinasi utama bagi provinsi Jawa Timur. Daya tarik wisatawan dari mancanegara maupun domestik ke Jatim sudah pasti prioritasnya adalah: berkunjung ke Gunung Bromo. Baru setelah itu di alternatif berikutnya ada Kawah Ijen, Banyuwangi, Surabaya, Malang-Batu, Makam Bung Karno dan lain-lain.
Maka, tak salah ketika pemerintah menetapkan sepuluh destinasi wisata baru di luar Bali, tak luput ada Bromo di sana. Selain itu, ada lokasi turisme lain seperti Danau Toba, Kawasan Candi Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Taman Nasional Wakatobi, dan Morotai.
Bromo memang keren. Karena itu, saya merasa tak lengkap saat sepasang penerus generasi keluarga kami belum menginjakkan kaki di kawasan wisata alam yang menjadi milik bersama Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang itu.
Berangkat pukul tiga pagi dari Surabaya, kami sampai jelang pukul enam di kawasan Tosari. Tosari merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Pasuruan, yang berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 5-10 derajat Celcius. Tosari merupakan kecamatan tertinggi di Jawa Timur dan salah satu yang tertinggi di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Tosari merupakan suku Tengger.
Dari mobil Xenia, kami beralih menyewa hardtop seharga Rp 750 ribu per mobil menuju kawasan Bromo. Konon, di masa liburan tak lagi peak, harga sewa jip off road ini tak lebih dari Rp 600 ribu per mobil, yang bisa diisi hingga enam orang penumpang.
Menggunakan hardtop, setidaknya ada empat lokasi yang dikunjungi. Dedi, warga Tosari yang memegang kemudi, awalnya mengantar kami ke lokasi yang disebut sebagai ‘Panorama’. Ini adalah sebuah kelokan di mana wisatawan biasa mengambil gambar untuk berpose berlatar keindahan Bromo dari atas. Tampak jeep Hardtop berparkir dan melaju di bawah, serupa titik-titik putih laksana mainan ‘Hot Wheels’.
Perhentian kedua yakni padang savana, bentangan rumput yang amat luas. Di sini juga terdapat spot yang dikenal dengan ‘Bukit Teletubbies’, karena mirip gundukan tanah kembar dalam serial anak-anak itu. Banyak pengunjung mengambil gambar di sini, meski di kawasan ini pula ada signage ‘Bukit Teletubbies’ yang sempat diprotes para pencinta lingkungan karena dianggap mengganggu suasana natural Bromo.
Titik berikutnya yakni ‘Pasir Berbisik’. Mengambil nama dari judul film yang lokasi syutingnya di Bromo, lokasi berpasir ini memang cocok dipakai sebagai (lagi-lagi) temoat selfie ataupun welfie.
Lokasi puncak tentu saja kawasan kawah Bromo. Berjalan kaki 2,5 kilometer -atau naik kuda seharga Rp 150 ribu pulang pergi- terengah-engah menuju kaki tangga menuju kawah. Ada 250 anak tangga untuk menuju puncak dengan kemiringan 45 derajat, menyaksikan kawah Bromo berbau sulfur nan menyengat. Sudah ada beberapa papan peringatan agar pengunjung tak naik ke puncak kawah, karena status Bromo yang waspada memberi alarm keselamatan bagi turis. Toh demikian, masih banyak wisatawan nekat naik, karena mungkin terpikir hal kepuasan: Kapan lagi bisa ke puncak Bromo, gunung setinggi 2.329 meter yang terakhir erupsi 2016 ini.
Bromo tetap sebuah pesona Indonesia, unggulan utama obyek wisata di Jawa Timur.
Mari catatkan diri, pernah ke sini!
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/1_2j1Qc