Komunikasi, Itulah Pembeda Kualitas Kita

Pagi ini, saya memilih menuju Jakarta menggunakan moda transportasi Trans Jakarta (TJ) dari Halte Puri Beta Ciledug, Tangerang menuju Halte Latuharhari, Jakarta Pusat.

Di tengah kepadatan pengguna TJ di pagi hari, ada pembeda yang membuat senyum tersungging di antara para penumpang. Ini tak lain karena diferensiasi sang kenek. Tak hanya begitu ramah, tapi juga ‘ceriwis’, aktif berkomunikasi.

Arafat, demikian nama pria 24 tahun itu tertera pada name tag nya, menyapa para penumpang dengan standar.

“Persiapan … Halte Departemen Kesehatan… sekali lagi, Departemen Kesehatan.. Transit Monas.. Bagi para pelanggan yang akan turun, mohon periksa barang bawaan Anda…”

Juga standar saat menyambut penumpang turun, selalu menyilangkan tangan di dada dan berkata, “Terimakasih, Bapak, Terimakasih, Ibu.. Hati-hati melangkah … Terimakasih… Sama-sama… ”

Yang tidak standar adalah saat ia kerap menambahkan kata-kata lucu. Kala para penumpang sudah naik, dan ia merasa terjepit, Arafat pun berkata, “Buat saya di mana, kakak?”

Seorang mbak-mbak di samping saya tak kuasa menahan tawa. Sambil tetap menggenggam erat pijakan tangan di bagian atas bus, ia berseru geli, “Kacau nih, masnya.”

Belakangan saya tahu, Arafat berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Pantes, logatnya ketimur-timuran. Ia mengaku baru setahun bekerja di PT Transportasi Jakarta.

Di ujung perjalanan, Arafat hanya tersipu saat saya meminta izin padanya berselfie.

“Buat apa, Pak? Kenang-kenangan?”

Saya tepuk pundaknya, dan saya katakan, “Anda layak jadi inspirasi. Ramah dan rajin menyapa penumpang.”

“Oh, terima kasih, Pak,” balasnya.

Tidak semua kenek seperti itu.

Begitulah. Komunikasi menjadi salah satu pembeda dalam hidup ini. Dalam pekerjaan kita. Kita akan senang kalau bertemu seseorang yang komunikatif, banyak tersenyum, dan banyak informasi.

Seperti halnya kalau naik pesawat terbang dari Jakarta ke Surabaya. Akan sangat senang kalau di tengah perjalanan, pilot bermurah hati memberitahukan bahwa pesawat tengah terbang  di ketinggian 30 ribu kaki, dan berada di atas daerah Cirebon, misalnya. Tidak semua pilot seperti itu.

Dan tahukah Anda, setiap turun dari Gojek, kita diminta memberikan penilaian. Selain memberi bintang dan pilihan mau memberikan tips berapa rupiah, kita diharapkan menyampaikan parameter apa yang menurut kita ‘oke’ dari sang driver: antara lain: pemilihan rute, sikap driver, kebersihan, waktu penjemputan, dan keamanan mengemudi.

Demikian pula di Grab, start-up raksasa lain yang terus berkompetisi dengan GoJek. Grab pun punya fitur penilaian serupa. Pembedanya adalah parameternya.

Pertanyaan Grab begini: Mungkin kasih tip kalau pengemudinya mantap banget? IDR 2 K, IDR 5 K, IDR 10 K…

Pilihan yang membuat kita memberi tip antara lain: fasilitasnya lengkap, bersih dan nyaman, layanan mantap, mobilnya keren, dan ada satu lagi: ‘Ngobrolnya seru!’

Jadi bayangkan, ternyata ada ‘demand’ tersendiri bagi driver Grab agar mengajak ngobrol customernya. Tak hanya asal ngobrol, tapi juga mesti seru.

Dalam era MO (mobilization dan orchestration) seperti ini, ngobrol alias berkomunikasi adalah salah satu senjata untuk memenangkan kompetisi.

Tak cukup lagi slogan ‘Silent is Gold, Diam Adalah Emas’. Yang benar adalah, ‘One Cannot Not Communicate’, seperti kata ahli teori komunikasi berdarah Austria-Amerika Paul Watzlawic.

Jadi, sudah berapa jauh Anda berkomunikasi hari ini dengan orang sekitar Anda? Sudah tersenyum pada orang di samping Anda? Sudah menyapa? Sudah memberi informasi yang mungkin basa-basi tapi ternyata penting bagi mereka nan kesepian?

Jika belum, mari ikut saya naik bus TransJaknya Arafat besok pagi!

(JJO)

seperti ditayangkan di

https://jokowidodo.app/post/detail/komunikasi-itulah-pembeda-kualitas-kita

Leave a Reply

Your email address will not be published.