Hari keenam bersama Covid-19
Ini bukan soal sugesti, atau halusinasi, bahwa apa yang kita pikirkan pasti akan terjadi. Dulu saat saya masih remaja, marak sekali doa model begini. Kalau kamu pengen sepeda, gambarkan dengan jelas di kepalamu: merknya apa, warnanya apa, bentuk setangnya bagaimana, dan lain-lain, dan lain-lain. Doa harus detail.
Seiring usia, doa dengan spesifikasi seperti mengorder barang pada Tuhan itupun meningkat jenis requestednya.
“Pikirkan cewek yang kamu inginkan seperti apa. Warna kulitnya, rambutnya ikal atau lurus, bentuk matanya, hidungnya, dan lain-lain, dan lain-lain,” demikian doktrinnya. Begitupula level berikutnya, doa untuk mobil dan rumah, misalnya.
Dalam masa-masa di mana saya terasingkan karena divonis terpapar Covid ini, meski sejujurnya saya tak merasa mengalami gejala klinis serius, bukan doa macam itu yang saya panjatkan. Saya hanya menanamkan keyakinan pada diri saya, bahwa saya akan menang. Seperti sebuah lagu mengiringi musikal kisah petinju ‘Rocky’, ‘fight from the heart’.
Saya merasa punya segalanya. Tuhan yang besar, tentu saja. Badan yang prima, sudah vaksin, tak merasa ada komorbid atau penyakit bawaan, keluarga tercinta yang menanti di rumah, itu sedikit contohnya. Termasuk juga langkah-langkah medis yang disarankan: menghabiskan aneka obat, multivitamin dan berjemur serta olahraga ringan saat matahari mulai menyengat belahan bumi Jakarta Barat.
Usaha ekstra juga dilakukan. Selasa, 13 Juli 2021 pagi ini, Mbak Lili dari RS Pusat Pertamina kembali datang. Memberikan booster infus multivitamin dan pengalas lambung bagi saya. Terima kasih untuk senior yang baik, yang memberikan pelayanan kesehatan VVIP ini.
Dengan semua hal itu, berpikir positif tak salah, toh. Yang pasti, saya tak mengorder Tuhan seperti seorang yang pesan makanan dengan detail: cabenya dua, telornya didadar, garamnya didikitin, vetsinnya dinihilkan, dan lain-lain, dan lain-lain. Saya berpikir positif untuk segera negatif. Kapan waktunya? Selebihnya, proposal itu saya serahkan pada ‘Yang Punya Hidup’. Jadilah kehendakMu, Gustiku…
Pagi kedua di lokasi isolasi di Daan Mogot ini, selain ber-Saat Teduh dari Our Daily Bread dan mendaraskan ‘Doa Bapa Kami’ dari Matius 6, aktivitas rutin saya adalah menjepit jari dengan oximeter.
Thanks God, saturasi selalu baik, 98-99. Sejak di rumah dan kamar isolasi. Bahkan saat diuji dengan oxi milik dokter di lantai dasar lokasi training center ini, bisa mentok sampai 100. Selain itu, heart beat alias detak jantung yang kemarin di atas 100 -masih tergolong normal sih- sekarang sudah mulai stabil di angka 90-an, dan bahkan bisa turun di bawah itu.
Terhitung sejak 3 Juli 2021, hari ini PPKM Darurat memasuki hari ke-11. Ada tambahan angka positif 47.899, dan korban meninggal 864 pada 24 jam terakhir. Tuhan berkati jiwa-jiwa itu.
Dalam kepercayaan dan pikiran positif itu, saya bersandar padaNya. Percaya pada janjiNya di Mazmur 91:7
Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.