Pontianak punya banyak spot menarik untuk dikunjungi. Terkhusus bila Anda mempersilakan semua jenis makanan masuk ke perut Anda.
“Sekali Anda minum air Sungai Kapuas, niscaya akan kembali ke sini,” ucapan itu disampaikan Jeffray Edward, anggota DPRD Kabupaten Sintang, yang dua hari kemarin menjadi tuan rumah atas kunjungan kami ke Pontianak. Sungai terpanjang di Kalimantan sekaligus di Indonesia dengan panjang mencapai 1.143 kilometer ini sebagian besar ada mengalir di Kalimantan Barat.
Bukan ungkapan asing memang. Sudah banyak orang mengumandangkan kalimat itu. Dan, terbukti, setelah tiga tahun, saya kembali menginjakkan kaki di Bumi Khatulistiwa, Provinsi Kalimantan Barat.
Pada November 2017, sebagai Tenaga Ahli Komunikasi Kantor Staf Presiden, kunjungan pertama hanya dua malam di Kalbar dengan mayoritas waktu terpakai menuju Pos Lintas Batas Negara Entikong.
Pun kedatangan kedua: Agustus 2018. Khusus mengabadikan suasana upacara 17 Agustus di perbatasan Entikong, yang menghubungkan Kalimantan Barat dengan negara bagian Serawak, Malaysia.
Di antara agenda itu, saya sempat mampir ke kedai kopi Asiang nan melegenda, serta berpose dan mendapatkan sertifikat berkunjung ke Tugu Khatulistiwa di Pontianak Utara.
Kali ini, di sela-sela acara Pelantikan Pengurus dan Rapat Kerja Daerah Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Kalbar, saya malah sempat beribadah gereja minggu, serta main ke beberapa titik lain.
Nasi Akwang di Pontianak Selatan jadi andalan bagi mereka yang datang maupun menuju Bandara Supadio, yang aslinya masuk Kabupaten Kubu Raya. Dua kali kami singgah di sini. Sabtu siang sesaat setelah mendarat dan Minggu sore jelang mengejar si ‘Singa Merah’ kembali ke Jakarta. Masakan andalannya, nasi campur babi. Membuka cabang di Pluit, Kelapa Gading, Taman Palem, dan Serpong.
Bakmie Ati, mie dengan kuah kepiting menjadi referensi berikutnya. Kami mampir ke resto ikonik di kawasan Jalan Setiabudi, yang katanya tidak buka cabang di mana pun.
Titik lain yang menjadi lokasi transit yakni Rumah Radakng, menjadi landmark kedua Pontianak setelah Tugu Khatulistiwa. Gagasan Bupati Kornelis ini bak Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, merupakan rumah panjang yang menjadi rumah adat bagi Suku Dayak yang berada di Provinsi Kalimantan Barat.
Ini merupakan rumah adat terbesar yang ada di Indonesia, memiliki ukuran panjang 138 meter dengan tinggi 7 meter. Lokasinya berada di Jalan Sutan Syahrir Kota Baru Pontianak.
Sisi lain yang menarik jika kita memasuki kawasan Rumah Radakng yaitu arsitektur yang digunakan. Sesuai dengan namanya, rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan tinggi 7 meter.
Bukan tanpa alasan rumah adat ini dibangun berbentuk panggung. Jika di pedalaman kalimantan, alasan rumah Suku Dayak dibentuk berpanggung dimaksudkan untuk melindungi keluarga dari serangan binatang buas dan antisipasi jika terjadi banjir.
Selain tinggi 7 meter, kita bisa melihat bahwa Rumah Radakng memiliki 2 tiang utama sebagai penopang bangunan serta memiliki panjang bangunan 138 meter. Tak heran jika rumah ada ini sukses menjadi rumah adat terbesar di dunia, serta mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai rumah adat terpanjang di Indonesia.
Pada umumnya rumah adat panjang di Kalimantan Barat memiliki konstruksi yang unik, begitu juga dengan konstruksi yang dimiliki oleh Rumah Radakng.
Bila kita melihat di deretan tiang 6 besar yang di atasnya terdapat Burung Enggang, maka kita dapat melihat tangga yang biasanya disebut Hejot.
Jumlah tangga haruslah ganjil, sehingga pada Rumah Radakng kita bisa melihat 3 tangga di bagian tengah rumah, serta di ujung kiri dan kanan.
“Kawasan ini untuk menciptakan kawasan baru, yang sesuai dengan rencana pembangunan daerah, dalam bentuk budaya,” kata Gubernur Kalbar saat itu, Kornelis, saat peresmian rumah adat yang dibangun dengan dana Rp 20 miliar itu, Juli 2013.
Kalimantan Barat, dan Pontianak khususnya, merupakan spot yang sangat indah sekali. Di sini kita lihat keharmonisan itu. Tiga suku utamanya Tidayu: Tionghoa, Dayak, Melayu, berdampingan erat dalam hidup bersama. Termasuk juga dengan suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain.
Di Pontianak, nyata bahwa Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila jadi penjaga negeri ini. Jadi, kalau sempat ke mari, jangan lupa minum air Sungai Kapuas itu. Dan nantikan angin membawamu kembali.
Di tiga kali makan di restoran, saya terus memesan liang tengah hangat dan menenggaknya habis.
Gleeeek…