Aktivis Perantau

 Senang sekali kemarin bisa bertemu tiga anggota GMKI Surabaya yang bertandang ke kantor. Aktivis yang perantau dan perantau yang aktivis.

Kami bertemu di Centre Point, kafe tempat karyawan MNC biasa meriung makan siang.

Mereka bertiga memiliki kesamaan sebagai anggota GMKI Surabaya. Ditambah saya tentunya.

Jefri Dimalouw, Ketua Cabang GMKI Surabaya yang baru mengakhiri masa baktinya. Tinggal menanti waktu serah terima jabatan pada Kecab (ini singkatan ketua cabang. Bagi mereka yang pernah mendapat posisi ini -sebagaimana juga Ketum alias Ketua Umum- akan disapa dengan panggilan itu seumur hidupnya) pada pekan depan.

Jefri anak seorang nelayan dari Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Ia baru lulus dari Fakultas Hukum Unika Dharma Cendika Surabaya. Selepas penyerahan jabatan sebagai kecab, ia berencana pulang kampung dulu, menghabiskan waktu sekitar 5-6 bulan di tanah kelahirannya nan indah itu.

“Pengennya lanjut ambil profesi pengacara, Bang. Tinggal cari dananya saja,” kata Jefri.

Di organisasi, kami diajar menyapa senior dengan panggilan, “Abang”. Padahal, meski sudah lebih dari 15 tahun hidup di Jakarta, saya lebih suka disapa, “Mas Jojo” saja. Di kantor pun saya menolak dipanggil, “Pak”. Mungkin kebiasaan di Kompas dulu kali ya. Di keluarga besar Kompas, banyak yang dipanggil “Mas”.Tapi yang disapa “Pak” hanya satu, yakni “Pak JO”.

Pria kedua dalam rombongan itu bernama Juniel Mendrofa. Bisa ditebak, dari nama belakang ia berasal dari Nias. Namun, keluarganya tak lagi tinggal di kampung asal Yasonna Laoly, Menteri Hukum dua periode pemerintahan Jokowi itu. Keluarga Juniel tinggal di Sibolga, kota yang pelabuhannya menghubungkan daratan Sumatera dengan pulau Nias.

Bicara Nias, saya pun mengisahkan perjalanan saya ke sana. Saat itu, 2005. Melalui perjalanan darat dari Bandara Polonia Medan nyambung kapal dari Sibolga, saya mendampingi tim pelayanan Gereja Bethany memberikan sumbangan pada korban gempa di Nias.

Lulus sebagai sarjana psikologi Universitas Ciputra Surabaya, Juniel kini merantau di Jakarta. Ia tinggal di rumah kos kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Mendapat bantuan dari kakaknya yang bekerja sebagai ‘IT Man’ di Thailand.

Juniel tercatat sebagai penerima Kartu Prakerja gelombang-gelombang awal. Saldo pelatihan Rp 1 juta dipakainya habis untuk berbagai kursus daring menambah ilmu.

“Saya orangnya hobby koleksi sertifikat, Bang.”

Selain menguasai ilmu-ilmu psikologi, Juniel mengaku menggemari bidang audio visual dan editing. Tentu saja kegiatan utamanya kini adalah: melamar-lamar kerja.

Ada pula Lamsaria Siregar. Namanya Batak. Akrab dipanggil Lalam. Namun, keluarganya -sebagaimana orang-orang Batak petarung lain- sudah lama merantau. Tanah rantaunya unik: Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Mereka tinggal di Pagai Utara, salah satu pulau di Mentawai yang bisa ditempuh sekitar 4 jam dari Padang.

“Saya berkali-kali ke Padang, tapi belum pernah ke Mentawai,” kata saya pada Lalam.

Lalam bercerita, mayoritas pulau di Mentawai belum bisa menikmati internet dengan baik. Jika ingin mendapat sambungan internet di telepon, mereka harus menuju kantor kecamatan yang menyediakan sambungan wi-fi.

Juga lulusan Unika Darma Cendika, kini Lalam tinggal bersama kakaknya di Karawaci, Tangerang. Tekadnya sama: mencari kerja di ibu kota.

Pada mereka, saya tegaskan, jangan minder. Apalagi mereka ini anak-anak muda yang sudah punya pengalaman merantau sejak kuliah. Saya saja baru ngekos saat mulai kerja di Jakarta.

Saya pun bercerita tanpa bermaksud narsis, keberhasilan tak diraih dalam sekejap. Saya pernah hilir mudik Surabaya-Jakarta untuk tes-tes di TV7, MetroTV, Tempo dan lain-lain, tapi pulang dengan kegagalan.

“Pasti bisa. Jangan minder. Banyak kesempatan untuk maju,” itu saja pesan saya.

Untuk sukses pun, tak harus di Jakarta. Mereka bisa jadi “orang besar” dengan menjadi politisi atau mengasistensi politisi di daerahnya masing-masing.

Semoga mereka menjadi pejuang tangguh. Setangguh saat menyelesaikan berbagai problem dunia mahasiswa dan menuntaskan karir organisasinya.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.