Meninggalnya Hilman Hariwijaya membuat saya mengheningkan cipta.
Rabu, 9 Maret lalu, Hilman Hariwijaya yang merupakan penulis novel Lupus meninggal dunia. Usianya 57 tahun. Pernah sakit termasuk stroke ringan, Hilman meninggalkan legacy tentang kerja keras, menghasilkan novel, film, serta sinetron yang selalu mendapat tempat di hati.
Akhir 1980-an saya termasuk menjadi penggemar fanatik novel ‘Lupus’, yang awalnya muncul di Majalah Hai. Bisa jadi, figur Lupus sebagai wartawan dan penulis memberi saham cukup besar dalam menginspirasi pilihan karir saya sebagai jurnalis.
Dari kisah Lupus yang kerap datang ke kantor redaksi ambil honor penulisan jadi terpikir, “Wah, enak juga ya jadi jurnalis atau penulis itu.” Sampai pada suatu masa, saya pun benar-benar jadi kontributor Majalah Hai di Surabaya. Meski untuk kurun waktu yang tak lama.
Hingga 2005 -sekitar 18 tahun setelah novel Lupus naik daun- saya berkesempatan hijrah ke Jakarta secara permanen. Mengenal beberapa setting lokasi yang ada di novel itu, yang sebagian di antaranya bukan fiksi.
“Oh ini daerah namanya Duren Tiga,” batin saya mengingat julukan sahabat Lupus: ‘Boim, Playboy Duren Tiga’. Maksudnya, Boim sosok Ganti-ganti pasangan terus. Tapi si Boim ini cuma playboy cap duren tiga. Mau nampang modalnya cuma korek api merek duren tiga. Rokok aja nebeng.
‘Saingan’ Lupus saat itu adalah ‘Catatan Si Boy’-nya Zara Zettira. Keduanya melejit di layar perak dalam kurun waktu yang sama.
Terima kasih, Mas Hilman untuk inspirasinya. Mengenalkan Mas Lupus yang kemudian mewarnai dan menggerakkan hidup dan nasib saya.