Mas Agung KD, Rest In Peace

Sahabat yang baik. Perantau dari sebuah desa kecil di pedalaman Jawa Tengah. Selamat bertemu Bapa di Sorga.

Namanya Agung Setya Hartanto. Kami lebih akrab memanggilnya Agung KD. KD artinya Komisi Disiplin. Bukan apa-apa. Ceritanya, awal 2000-an, kami anak-anak muda dari Komisi Pembinaan Pemuda dan Mahasiswa (KPPM) Greja Kristen Jawi Wetan Ngagel menggelar event Latihan Dasar Kepemimpinan Pemuda (LDKP).

Lokasinya di ‘Villa Tjahjono’, Wonosalam, Jombang. Selain materi dan ceramah kerohanian, ya namanya juga latihan kepempinan, di acara itu ada gojlok-gojlokan. Dari panitia dan senior kepada peserta. Saat itulah Agung berlagak galak. Atau digalak-galakkan. Ia berperan sebagai ‘Komisi Disiplin’, alias tokoh antagonis. Bagian mbentak-mbentak calon pemimpin baru. Sukses di role player itu.

Mas Agung lahir 50 tahun lalu. Ia merantau dari kampungnya, kuliah di sebuah kampus ekonomi swasta di Surabaya. Nyambi bekerja sebagai staf administrasi keuangan di gereja kami. Di situ pula ia bertemu jodohnya, Mbak Titin Febriantini. Lihatlah foto mesra keduanya. Saat itu kami nonton bareng final Piala Dunia 2002 antara Brasil melawan Jerman. Saya agak gila memakai rambut palsu.

Mundur tiga tahun sebelumnya, saya ingat benar saat itu, 1999, di bulan Maret. Mas Agung menawarkan untuk main ke kampungnya. Naik motor berboncengan. Bisa dikatakan 95 persen dia yang nyetir. Saya mah sebentar saja. Dari Surabaya ke Gresik, Bojonegoro, lewat jalan rusak di Randublatung -Blora. Lalu sampailah kami di kampungnya, masuk Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Dekat sekali dengan Stasiun Gubug, yang sebelumnya hanya saya kenal lewat papan permainan Monopoli.

Nama desanya Kaliceret. Banyak umat Kristen di sana. Dalam kunjungan nyaris sepekan ke desanya, saya sempat hadir ikut kebaktian pemuda di Gereja Kristen Jawa tempatnya dibesarkan. Juga mampir di sumber api abadi Mrapen, Grobogan. Juga bersepeda motor menembus hujan deras ke kota Semarang, bahkan ke Candi Borobudur. Itu kali pertama saya menginjak salah satu dari tujuh keajaiban dunia kebanggaan Indonesia.

Dari Magelang kami balik, bermotor berkonvoi bersama kawan-kawan masa kecilnya di Grobogan. Di perjalanan, Mas Agung sempat menunjuk singkat, “Itu kota Salatiga.” Lalu wes… kembali ke Kaliceret. Desa yang tenang, stasiun kereta lawas, orangtua yang ramah. Beberapa tahun kemudian saya menyapa kembali bapak ibunya saat menghadiri pernikahan mas Agung-mbak Titin di sebuah gedung resepsi kawasan Menur, Surabaya.

Pagi tadi, mendengar kabar mas Agung meninggal dunia di RS Angkatan Laut Dokter Ramelan, Surabaya. Setelah lama berjuang melawan kanker yang menyerangnya. Dalam kondisi itu, jiwa seni mas Agung -seorang melankolis yang tidak banyak bicara tapi berkarakter artistik kuat- membuat kerajinan diorama tiga dimensi. Berbahan limbah kardus, stik es krim, tisu, dan serbuk kayu. Tak hanya menghasilkan cuan, bahkan masuk televisi.

“Di masa Covid-19 banyak waktu luang, saya gunakan membuat kerajinan ini. Pakai bahan daur ulang,” kata ayah dua anak itu sebagaimana diliput KompasTV.

Mas Agung, selamat menuju kekekalan. Kami akan menyusulmu. Cepat atau lambat. Gusti berkahi keluarga. Tuhan maha pengasih akan mencukupkan Mbak Titin dan jagoan-jagoanmu. Terima kasih atas keteladanan dan inspirasinya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.