Hello, Cello…

Sebuah kisah cinta dari tidak suka dan suka. Akhirnya keabadian menang setelah jeda cukup lama.

Ini sebenarnya buku pesanan Kirana, bungsu saya, saat Desember 2022 berusia 10 tahun. Ia minta kado ultah dipesankan buku cerita, novel setebal 428 halaman karangan Nadia Ristivani. Beli deh di laman belanja online. Lembar demi lembar dilahapnya di sela-sela pelajaran sekolah, juga di mobil antar jemput yang membawanya sehari-hari berangkat studi. Cepat sekali Kira menamatkan. ‘Hello Cello.’ Maka, saya pun jadi penasaran ikutan membaca. Meski tak secepat rekornya.

Kisahnya asyik juga. Tokoh utamanya Helga. Seorang mahasiswi. Seorang penulis dengan nama Hel.Ga. Tokoh lainnya Marcello. Dikenal sebagai playboy, atau setidaknya menyukai dan disukai banyak perempuan. Baru pada pertatapan dengan Helga, Cello seperti ‘kena batunya’. Ia benar-benar suka. Cinta. Bukan pada kecantikan dari luar. Tapi pada sesuatu dari dalam.

Hingga mereka begitu dekat. Saling memotivasi saat nugas kuliah. Sampai lulus. Wisuda bermotivasi nonton konser Tulus. Bahkan pakai toga di tengah keramaian. Lalu membuat keberanian untuk berhenti berkomunikasi selama empat tahun ke depan. Berani? Dan bisa.

Endingnya indah. Helga membuat film berdasar novelnya. Based on true story. Dan di film itu, berdasar networking kuatnya Cello, muncullah suara Cello di akhir cerita.

“Tidak perlu memikirkan 1001 cara menjadi orang lain agar dicintai. Tidak perlu juga memikirkan 1001 cara mengubah seseorang agar mencintai. Kalau sudah cinta, pasti berjuang sendiri.” Begitu kata indah buku ini sebagai pengantar Bab 29 berjudul, ‘Sudirman Saksi Bisu’.

Saya orang yang terlalu gampang mengagumi sesuatu. Sulit mencari kekurangan. Karena itu, bingung kalau ditanya apa kritik terhadap novel ini. Mungkin, kelemahannya adalah: akhirnya telalu indah, hehehehee…

Leave a Reply

Your email address will not be published.