Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Agustinus Rahardjo menyoroti penangkapan aktivis media sosial (medsos) Palti Hutabarat atau yang dikenal dengan akun Bang #NalaR atau @Paltiwest oleh Bareskrim Polri, Jumat (19/1/2024) sekitar pukul 03.00 WIB.
Pria yang akrab disapa Jojo ini mengatakan, dalam kasus ini semestinya polisi melakukan penyelidikan terkait substansi masalah pelanggaran pemilu tentang netralitas aparat.
Alih-alih melakukan penyelidikan terkait substansi masalah pelanggaran aturan pemilu tentang netralitas aparat, polisi justru menangkap masyarakat yang ikut melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah.
“Harusnya polisi melakukan penyelidikan terkait substansi masalah pelanggaran pemilu tentang netralitas aparat. Jangan malah “kill the messenger”, memberangus penyampai pesannya dan tak fokus menyelesaikan isi pesannya,” kata Tenaga Ahli Komunikasi Kantor Staf Presiden (KSP) periode 2016-2019 ini.
Ia menuturkan, jangan sampai Indonesia kembali ke masa kegelapan kala kebebasan demokrasi, bersuara dan berpendapat dibungkam seperti sebelum 1998.
“Masyarakat sipil harus terus menggaungkan semangat agar spirit Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia terus terjaga. Lawan segala bentuk pembungkaman kebebasan hak-hak sipil,” kata Jojo.
Sebelumnya, Pengamat Kepolisian pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritik arogansi dan netralitas aparat Polri pada penyelenggaraan pemilu 2024.
“Alih-alih melakukan penyelidikan terkait substansi masalah pelanggaran aturan pemilu tentang netralitas aparat. Polri malah melakukan penangkapan anggota masyarakat yang menyampaikan informasi terkait indikasi pelanggaran Pemilu,” kata Bambang melalui keterangan keterangan tertulis, Jumat (19/1/2024).
Palti ditangkap setelah mengunggah rekaman suara yang diduga berisi percakapan yang mengarahkan Kepala Desa di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara (Sumut) menggunakan Dana Desa untuk memenangkan salah satu pasangan calon (Paslon) yang berkontestasi pada Pilpres 2024.
Disebutkan, menilik surat penangkapan yang beredar, proses pelaporan, penyelidikan, dan penyidikan sampai penangkapan yang berlangsung hanya 3 hari dari laporan dan sangat instan, akan memunculkan persepsi negatif, yang semakin menggerus kepercayaan publik pada netralitas kepolisian, dalam Pemilu 2024.
“Informasi yang ditersangkakan kepada Palti adalah bentuk pengawasan masyarakat pada perilaku penyelenggara negara, yang harusnya justru dilindungi undang-undang, bukan malah dibungkam oleh undang-undang,” jelas Bambang.
Pembungkaman upaya partisipasi masyarakat yang sedang melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah dengan UU ITE, kata Bambang, mencederai semangat demokrasi dan menunjukkan aparat negara masih alergi terhadap peran masyarakat yang mengawasinya.
“Pertunjukan arogansi aparat dan potensi abuse of power di ruang-ruang tertutup yang jauh dari pantauan publik ini, adalah puncak gunung es dari problema yang terjadi dalam penegakan hukum,” lanjutnya.