Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020
(LEAD)
MEMPUNYAI ANAK YANG TERLAHIR SEMPURNA ADALAH IMPIAN SETIAP ORANG TUA//NAMUN BAGAIMANA JIKA SI BUAH HATI/TERLAHIR MENGIDAP CELAH BIBIR LANGIT SEJAK LAHIR//
INILAH YANG MENCETUS LAHIRNYA KOMUNITAS SATU SENYUM//MENDUKUNG PENUH ANAK ANAK PENYANDANG C-B-L/TERMASUK MENDUKUNG KELUARGA//
Komunitas Satu Senyum dideklarasikan. Bersama saling menguatkan.
Minggu (3/11) kemarin, bahagia rasanya bisa ikut hadir dalam peresmian komunitas “Satu Senyum”, di auditorium Museum Bank Mandiri, kawasan Kota Tua, Jakarta. Ini adalah wadah bagi keluarga dengan anak yang lahir dengan celah bibir dan langit-langit (CBL). Kondisi kelainan bawaan seperti ini, tak pernah jelas apa yang menjadi penyebabnya, apakah masalah dari dalam –misalnya kurangnya asupan gizi, atau kondisi mental orangtua saat mengandung, atau faktor dari luar –polusi maupun kandungan makanan yang masuk ke ibu hamil. Tak bisa dimungkiri, ada perasaan bagi orangtua kala pertama tahu kondisi “istimewa” pada anaknya.
Einzel berkunjung ke makam nenek di Menganti. Belum pernah bertemu fisik.
Tradisi ke makam saat hari raya, bagaimana memandangnya?
Baru-baru ini, salah satu grup di telepon pintar saya marak dengan diskusi bertema, “Apa sih perlunya pergi ke makam saat mudik?” Beberapa kawan berkomentar dengan menulis, tradisi berziarah ke makam leluhur tak terlalu signifikan, karena pada dasarnya toh roh dan jiwa mendiang orang yang kita kunjungi sudah tak di situ. Bagaimana opini Anda tentang itu?
Kalau Anda membaca blog ini pada 19 Agustus 2011, maka pada tanggal yang sama, lima tahun silam, kami –saya dan Celi, isteri saya- tengah berdebar menjalani sebuah ritual penting dalam memulai kehidupan baru bernama pernikahan. Sabtu itu ada dua ritual. Satu prosesi keagamaan, pagi di Kapel Bellarminus, Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta, dan satu lagi, bakda tengah hari, jamuan untuk kerabat dan teman di Wisma Kagama, Universitas Gajah Mada.
Di rumah sakit, Ibu mendongeng bersama Einzel. Bukan cucu tunggal.
Ibu meninggalkan kami dengan warisan spirit, etos kerja, dan perfeksionisme tingkat tinggi.
Sepuluh hari sudah Ibu meninggalkan kami. Ibu Titik Palembowati, berpulang ke sorga dalam usia 56 tahun, 3 bulan dan 29 hari pada Senin, 6 Juni 2011. Ibu berpulang sebagai pemenang, dalam perjuangan panjangnya melawan kanker getah bening yang telah menyusup ke tulang. Dalam setahun ini, Ibu empat kali keluar masuk Rumah Sakit Panti Rapih dan RSUD Dr. Sardjito, di Yogyakarta.
Bertiga menginjak Borobudur. Kebanggaan Indonesia.
Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali Anda menginjakkan kaki di Candi Borobudur. Saat Perpisahan SD? Kala terakhir berwisata ke Yogya sekalian Magelang? Atau, jangan-jangan, sampai detik ini Anda belum pernah meninggalkan jejak di Borobudur?
Suasana Kandank Jurank di Ciputat. Tepat untuk menanamkan keberanian bagi anak.
Ini alternatif lain tempat wisata alam di sekitar Jakarta, layak sebagai tempat menyegarkan diri sejenak bersama keluarga, di tengah rutinitas kota nan padat dan bising. Terletak di Desa Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, inilah Komunitas Kreatif “Kandank Jurank”, wisata bermain dan belajar.
Di dalam area “Kandank Jurank”, terdapat beberapa pilihan wahana bermain. Outbound misalnya, pengunjung dapat bermain flying fox, tangga monyet, menggapai tali atau meniti jembatan ranting. Ada juga “wisata pematang sawah” menawarkan paket menanam padi, menangkap ikan, dan memandikan kerbau.
Kalau Anda membaca blog ini pada 19 Agustus 2010, maka pada tanggal yang sama, empat tahun silam, kami –saya dan Celi, isteri saya, tengah berdebar menjalani sebuah ritual penting dalam kehidupan bernama pernikahan. Sabtu itu ada dua ritual. Satu ritual keagamaan, di kapel Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta, dan satu lagi, bakda tengah hari, jamuan untuk kerabat dan teman di Wisma Kagama, Universitas Gajah Mada.
Kini, empat revolusi telah berlalu. Sebagaimana bumi mengitari matahari berevolusi dalam setahun, kami telah empat kali mengelilingi sang surya. Bersama-sama. Kini bahkan dunia menjadi ramai dengan teriakan-teriakan Mikhael Einzel Raharjo, “orang ketiga” dalam perjalanan kami yang hadir sejak 14 November 2007. Einzel yang sama, yang Selasa malam kemarin meniup “lilin” perayaan kami di sebuah warung saji di Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat.