Melawan Penindasan Si Gurita

Hari Buruh atau May Day 2012 menjadi momen perlawanan jurnalis terhadap kapitalisme yang kian menginjak para pekerja.

Gurita bikinan AJI Jakarta. Melawan konglomerasi yang semena-mena.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kembali tampil beda dalam unjuk rasa besar-besaran memperingati Hari Buruh alias May Day, 1 Mei 2012. Kalau pada 2009 AJI mengusung seni instalasi bola dunia yang digelindingkan dari Bundaran Hotel Indonesia menuju ke Istana Merdeka, lalu pada 2010 membawa perahu raksasa dan 2011 menggotong penjara kayu, tahun ini AJI menyimbolkan gurita dan kapitalis asing sebagai lawan bersama.

Dibutuhkan lebih dari 8 orang untuk mengotong ogoh-ogoh gurita yang lengkap dengan tentakelnya ini. Simbol gurita merupakan wujud mengkawatirkannya kebebasan pers dan intervensi pemilik perusahaan pers terhada indepedensi ruang redaksi. Delapan tangan gurita itu ada yang memegang microphone, kamera televise dan ada pula yang mencengkeram gedung DPR serta Istana Kepresidenan.

“Terlebih menjelang pemilu 2014, AJI Jakarta melihat semakin maraknya pemusatan kepemilikan media, terutama media televisi yang mengancam indepedensi ruang redaksi,” jelas Ketua AJI Jakarta, Umar Idris Selasa (1/5/2012).

Dalam aksi ini, AJI Jakarta juga menuntut perusahaan media meningkatkan kesejahteraan para jurnalis. Berdasarkan survei yang dilakukan AJI Jakarta, upah layak jurnalis 2012 ini adalah sebesar Rp 5,2 juta per bulan. “Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis dengan pengalaman minimal 1-3 tahun,” kata Umar.

Sementara itu, AJI Indonesia menyorot nasib tak kunjung membaik yang terjadi pada kontributor/koresponden di berbagai kota.  “Saat ini sebagian besar perusahaan media yang mempekerjakan koresponden tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak Seringkali, kontrak hanya berbentuk ucapan/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan,” kata Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi.

Ia menekankan, banyak perusahaan media abal-abal membiarkan jurnalis menjadi pemeras dimana-mana dengan berbekal kartu pers. Sementara itu, perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak UU Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor.

Menggotong kaki gurita. Jauhkan pers dari politisasi pemilik modal.

Adapun Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menyoroti adanya sejumlah perkembangan baru dalam industri media. Salah satunya dengan makin tumbuhnya media dengan platform online, atau makin digarapnya secara serius
media dengan platform yang berbasis internet yang sudah ada sebelumnya.

Media online mendapat perhatian lebih dari perusahaan menyikapi boomingnya pemanfaatan internet pada tahun-tahun belakangan ini. “Namun, apakah perkembangan ini juga diiringi oleh perubahan cukup signifikan terhadap iklim dan suasana kerja bagi pekerja media, itu yang masih menjadi tanda tanya. Malah, sejumlah fakta yang terjadi belakangan ini menunjukkan hal yang kurang
menggembirakan,” kata Ketua FSPMI Abdul Manan sembari memaparkan kasus-kasus ketenagakerjaan yang menonjol  dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini. Kasus-kasus itu antara lain pemberangusan serikat pekerja dan pemutusan hubungan kerja (seperti dialami Serikat Pekerja Indonesia Finance Today), penonjoban karena mempersoalkan sistem di dalam perusahaan media (seperti dialami Luviana, Metro TV), dan pertanyaan soal hak sebagai pekerja (seperti diperjuangkan Serikat Pekerja Koresponden Tempo dan pekerja Harian Semarang).

Sejarah May Day

Berorasi di atas mobil bak terbuka. Suarakan kesejahteraan jurnalis.

Adalah Peter McGuire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey yang awalnya dikenal sebagai buruh pemberontak. Pada tahun 1872, McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja, dari ketentuan bekerja 19-20 jam sehari. McGuire lalu berbicara dengan para pekerja dan para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan “pengganggu ketenangan masyarakat”.

Karena perjuangan ini, 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam kerja sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat yang kemudian diberlakukan mulai 1 Mei 1886.

Maka, di banyak negara, 1 Mei pun menjadi momen monumental untuk diperingati. Tak terkecuali di Indonesia. Para jurnalis pun, yang tak lagi malu mengaku buruh, turun ke jalan memperjuangkan hak mereka. Di Jakarta, yel-yel para buruh terus bergema, “Kapitalisme… Hancurkan, hancurkan!!” “Buruh berkuasa, Rakyat sejahtera!!” “Hari buruh sedunia… Buruh berontak!”

One Reply to “Melawan Penindasan Si Gurita”

Leave a Reply

Your email address will not be published.