Indri turun ke Bundaran Hotel Indonesia, bergabung bersama banyak buruh, termasuk jurnalis. Kurang selaraskan narasi dan visual.
Asyik nih angle yang diambil Indriyana Milantika Adiono. Diawali dari sekuence buruh bernyanyi ‘Indonesia Raya’ di depan Bundaran Hotel Indonesia, bagian terbaik dari liputan Indri saat memotret demo para jurnalis. Ada juga gambar menarik, misalnya saat memotret aksi teatrikal, termasuk menampilkan mereka yang berparodi sebagai calon presiden.
Kondisinya saat live pun perfect, tepat di depan puluhan buruh yang berbaris dengan saling bergandeng-tangan dan berjalan bareng alias long march. Indri tampak tak demam panggung berpanas di depan patung selamat datang di ibukota Indonesia itu.
Top storynya tentu saat memotret para jurnalis. Narasinya pun dahsyat, “Semua orang yang bekerja dan diupah perusahaan disebut buruh. Karena jurnalis juga digaji, ia juga buruh, ia juga pekerja. Namun, ada sebagian jurnalis yang tak mau disebut buruh…”
Ada beberapa kelemahan Indri saat liputan aksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini. Misalnya, saat ia menyebut kepanjangan AJI dengan tidak tepat. Indri menyatakan AJI sebagai Aliansi Jurnalistik Indonesia. Kedua, ia menyapa koordinator liputan AJI, Erick, dengan sebutan, “Mas Aji…”
Selebihnya, saat Erick bicara, akan lebih cantik kalau diisi dengan insert visual yang pas. Insert visual itu baiknya berupa gambar-gambar jurnalis sedang bekerja –cari aksi mereka saat meliput demo—dan bukannya gambar buruh secara umum. Ini karena liputan Indri bicara jurnalis secara khusus. “Banyak jurnalis di Jakarta masih berkisar Rp 2 juta per bulan, alias jauh di bawah standar,” kata Erick. Itu SOT (soundbute/sound of tape) yang sangat keren, dan seharusnya diringi visual yang tepat pula. Apalagi, saat Erick banyak berkisah tentang fasilitas jurnalis yang tak sesuai dengan resiko pekerjaannya.