Balotelli memegang peran penting dalam tiga pertandingan terakhir Liverpool. Disorot karena insiden rebutan nendang penalti.
Saat yang kunantikan itu tiba juga. Delapan belas menit setelah peluit babak kedua dibunyikan, bos memintaku masuk lapangan. Philippe Coutinho, kawan berteknik tinggi itu harus rela tak main penuh lagi. Tapi, soal tak main full, bukan hanya Cou yang mengalaminya. Ini tiga kali berturut-turut bagiku menjadi pengganti.
Saat lawan Spurs, aku masuk di menit ke-74 menggantikan Daniel Sturridge. Ada wajah kecewa dari tribun penonton yang bertanya, kenapa Stu –si anak hilang yang telah kembali itu harus diganti? Atau kenapa harus aku yang menjadi substitusinya? Bukan Rickie Lambert yang terbukti telah menabung gol di Liga Primer? Faktanya, menit ke-83, sepakan kaki kananku menjadi pengubah pertandingan. Memanfaatkan umpan Adam Lallana, gol itu membuat 44.577 penonton di Anfield –sebagian besar pendukung Liverpool- tidak jadi pulang dengan hasil seri. Tidak sespektakuler skor di tiga laga kontra Tottenham sebelumnya memang, tapi tetap saja: menang adalah menang.
Mestinya, gol itu kurayakan dengan ekspresif. Itu gol pertamaku di Liga Inggris setelah 883 hari! Tapi toh, tak ada acara melonjak, berpelukan ramai-ramai, atau berdansa. Tak ada pula selebrasi di depan supporter. Hanya mengepalkan tangan, sedikit teriakan, lalu untaian kalimat dan foto dingin di media sosial kucuitkan, “Great game guys!!! This smile is ONLY for those that always Belive and support me. Thank you.” Bagiku, yang sudah berlalu adalah sejarah. Tantangan ada di hari depan.
Akhir pekan lalu. Melawan Crystal Palace di babak 16 besar Piala FA, aku baru mencicipi rumput Selhurst Park kala babak kedua dimulai. Kali ini, Lazar Markovic yang jadi ‘korban’. Posisinya tidak enak, kami ketinggalan sejak menit ke-16. Tapi, sekali lagi kubuktikan diriku sebagai ‘game changer’. Setelah Stu menyamakan kedudukan –sekali lagi membuktikan bahwa Piala FA adalah tempat main yang paling disukainya- Lallana mencetak gol penentu di menit ke-58. Seperti balas budi empat hari sebelumnya, mantan kapten Sotton itu mencatatkan namanya dalam sejarah pencetak gol Piala FA, setelah tendangan bebasku gagal diantisipasi kiper Julian Speroni. Kata orang sih, tendanganku keras bak roket. Setidaknya begitulah yang dirasakan goalie dari Argentina itu.
Ricuh penalti
Kamis malam melawan Besiktas di Laga Eropa. Aku sadar, ini bukan Besiktas yang sama yang pernah luluh-lantak di Anfield 4 November 2007. Saat itu, delapan gol tanpa balas dilesakkan Steven Gerrard, dan masing-masing dua gol Ryan Babel, Peter Crouch, serta hattrick Yossi Benayoun di fase grup Liga Champions. Hanya dua pemain Liverpool yang masih bertahan dari malam pesta gol itu, Gerrard dan Lucas, dan keduanya tak main pula. Sementara dari 18 pemain klub ibukota Turki yang enam setengah tahun lalu jadi pesakitan, hanya Serdar Kurtulus –bek kanan asli Turki- yang tadi bermain.
Kesempatan itu tiba juga. Jordan Ibe, komentator televisi menjulukinya sebagai ‘pemain paling berbahaya dalam pertandingan ini’ terjatuh dihadang Ramon Motta . Dan terjadilah drama itu. Aku, koleris sejati yang amat ambisius, merasa layak menjadi penendang penalti. Setelah the real captain tak main karena cedera, Jordan Henderson menganggap dirinya pantas menjadi penentu kemenangan. Tapi, apa dasarnya dia pantas? Karena dia memegang pita sebagai ketua?
Dalam catatan statistik, Hendo hanya sekali menendang penalti dalam pertandingan resmi. Itupun gagal, di babak keempat Piala Carling melawan Aston Villa, 27 Oktober 2009. Sementara aku melesakkan 27 gol dari kesempatan 29 kali eksekusi dari titik 12 pas. Aku terakhir gagal mengkonversi penalti di San Siro, saat berseragam AC Milan dan kiper Napoli bernama Pepe Reina sukses melemparkan dirinya ke arah kanan untuk menghalau bola, 23 September 2013.
Aku juga terlibat dalam salah satu adu penalti terpanjang sepanjang sejarah. Saat Liverpool menaklukkan Middlebrough 14-13 setelah bermain 2-2 di waktu normal, 24 September 2014 di Anfield. Tak tanggung-tanggung, aku yang saat itu terpilih sebagai penendang pertama, dua kali menjebol gawang Jamal Blackman -kiper Chelsea yang lagi ‘disekolahkan’ ke The Boro- dalam tos-tosan itu.
Okelah, Steven Gerrard yang tadi malam menjadi komentator di ITV kemudian menyalahkanku, “Jordan yang seharusnya mengambil penalti itu. Aturan adalah aturan. Itu seharusnya Henderson. Mario sedikit naka.” Kapten fantastik itu menambahkan, “Kredit kepada Mario, dia mencetak gol, tapi tidak menyenangkan melihat para pemain berdebat.”
“Saya pikir Jordan telah menangani situasi itu dengan sangat baik. Dia bisa melihat Mario sangat ingin mencetak gol. Jordan mundur di momen tepat dan menangani interviu pascapertandingan dengan sangat baik.”
“Jordan adalah kapten dan Mario sedikit menunjukkan sikap tak respek di sana, tapi dia mencetak gol yang sangat penting. Saya pikir enam atau tujuh pemain akan ingin mengambil penalti tersebut, jadi kalau mereka semua mengatakan mereka yang akan mengambilnya, apa yang terjadi kemudian?! Ada alasan aturan ditetapkan.”
Untunglah, bosku sebenarnya, Brendan Rodgers tak mempermasalahkan kejadian tadi. Baginya, menang lebih penting. Dan ia pintar memainkan pencitraan di depan media. “Kami memenangkan pertandingan dan itulah yang paling penting dari pertandingan malam ini,” ucap Rodgers pada konferensi pers seusai pertandingan.
“Gerrard yang seharusnya mengambil penalti karena dia eksekutor kami. Di luar Gerrard, ada banyak eksekutor hebat lainnya yang ada di tim ini seperti Henderson, Balotelli, Rickie Lambert, dan lainnya,” kata Rodgers melanjutkan.
Rodgers tak memberikan klarifikasi apakah seharusnya Henderson yang maju sebagai eksekutor meskipun Gerrard menyebut Henderson lah yang berhak atas penalti itu. “Yang bisa saya klarifikasi adalah kami memenangkan pertandingan itu dengan skor 1-0,” ucap Rodgers berkelit.
Apapun kata orang, aku tetaplah Mario Barwuah Balotelli, kelahiran Minggu Pahing, 12 Agustus 1990. Konon, pria yang lahir Minggu Pahing identik dengan tekun, mandiri, berwibawa, selalu ingin memiliki (barang), kesungguhannya penuh perhitungan untuk mendapatkan untung, suka menolong, mandiri, kuat lapar, banyak musuhnya, dan kalau tersinggung menakutkan marahnya.
Aku pemilik satu gelar Liga Champions, tiga gelar juara Serie A, satu Coppa Italia, satu gelar Piala FA, dan -yang tak pernah dirasakan Gerrard- juara Liga Inggris. Akulah yang memberi umpan pada Sergio Kun Aguero di menit ke-92, sehingga Manchester City menang 3-2 atas Queens Park Rangers dan menjadi juara untuk kali pertama setelah 44 tahun.
Bagiku, yang lalu sudah lewat, sekarang saatnya berpikir pertandingan Minggu melawan Sotton. Seperti statusku di Instagram terbaru, “Thank you Hendo for let me take the penalty.. Stop drama now. We won that’s what it count. We are a team and expecially we are Liverpool. Come on guys. And Thank all of you supporters . Thanks with all my heart. You are great. Now let’s think about sunday match…”