Suasana bak berita televisi profesional disajikan lima mahasiswi ini, baik di ruang siaran maupun gambar-gambar peliputan. Masih ada kekurangannya, tentu saja.
Mereka berlima perempuan semua. Masih semester empat dan enam Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara. Namun, karya akhir mata kuliah Jurnalistik Televisi yang digarap Arfyana Citra, Bonita Widi , Margaretha Sembiring, Shanaz Marthy Utami dan Vividha Jati lumayan keren. Bak pekerja media beneran. Tentu saja, tak ada gading yang tak retak.
Dibuka dengan bumper dengan audio ala program berita BBC dan on-air look di layar mirip banget dengan Berita Satu TV –gak papa juga sih, namanya mahasiswa masih cari-cari ide- penampilan duo host Arfy dan Bonita amat percaya diri. Entah berapa kali take, mereka amat kompak. Lihatlah saat chit-chat dengan wajah saling berhadapan. Wardrobe alias busana yang mereka pakai juga mendukung dan tampak dipersiapkan serius.
Mereka cerdik mengakali kebijakan yang mewajibkan paket menggunakan grafis terkait tuntutan buruh. Grafis dicomot dari youtube yang bersumber dari tayangan Berita Satu. Tentu selaras dengan on-air look layar kelompok ini. Tapi, for sure, grafis yang baik tentu yang orisinal bikinan sendiri, dong…
Belanjaan gambar mereka sangat kuat dan bervariasi. Sayang, saat disajikan di layar, minim Chargen/CG yang muncul sesuai dengan topik atau footage yang keluar saat itu. Insert atau visual pendukung seharusnya juga keluar saat PKG mengantarkan SOT Andi Hadi sebagai buruh yang memprotes belum terwujudnya janji ‘Tri Layak’ yakni upah layak, kerja layak, dan hidup layak bagi kaum pekerja. Jadi, pemirsa tak hanya disuguhi wajah dan suara Andi saja.
Insert visual yang seharusnya muncul di sela reportase juga tak Nampak di live Vividha Jati. Laporannya cukup menggebu dan clear, sih. Masuk ke live Shanaz Marthy, kritikan masuk pada SOT Donald Simanjuntak. Ada baiknya saat narasumber bicara, kamera diarahkan close one shoot ke wajah narasumber, tanpa lagi menyertakan pewawancara atau reporternya. Selain itu, posisi Shanaz juga terlalu membelakangi kamera. Satu lagi, jangan ragu untuk memotong pembicaraan narasumber yang terlalu panjang dan bersemangat.
Overall, great, welldone untuk kelompok lima srikandi ini. Apalagi di belakang video segmen berita ini mereka menyertakan potongan behind the scene yang dibuang sayang dan lucu dilihat.
Catatan di balik peliputan
Salah satu presenter, Arfyana Citra Rahayu berkisah, selain siaran, ia juga ikut mencari stock gambar dan video. “Menjadi news anchor merupakan mimpi saya, jadi excited sekali melakoni kesempatan itu,” paparnya. Arfy berkisah, ia sempat gugup menjadi pembaca berita dan mendadak lupa apa yang harus disampaikan. “Saran saya, sebaiknya news anchor yang baik berlatih dulu di depan cermin sebelum shoot,” jelasnya.
Anchor lainnya, Bonita Widi, juga mengambil gambar saat aksi May Day. Ini pengalaman berkesan baginya kali pertama terjun pada peristiwa besar. “Kami berpencar dan sama-sama belanja stok gambar, saya sangat merasa sangat gembira bisa menyatu dengan para buruh di lapangan Monas. Semakin ramai buruh bersuara, semangat saya semakin tinggi,” kenangnya.
Sementara itu, Margaretha bertugas sebagai juru kamera, video editor, dan script writer. “Selama proses pengeditan dan penulisan naskah baik-baik saja. Yang menarik adalah proses liputannya. Pengalaman saya ketika bertugas untuk meliput May Day sangat menyenangkan meski cukup melelahkan,” jelasnya. Berangkat dari Stasiun Rawabuntu dan bertemu rekan-rekan seperjuangan menambah suntikan semangat tersendiri. Cuaca panas sempat menjadi kendala tersendiri. “Solusinya kita harus tahu kondisi tempat liputan. Kalau tempatnya panas, ya kita sediakan barang-barang untuk membuat kita nyaman,” ungkapnya.
Salah seorang reporter, Shanaz Marthy mengungkapkan, kelompoknya ‘memecah’ kelompok menjadi dua. Ada yang ke Monas dan ke depan Istana Merdeka. “Dalam peliputan May Day ini saya merasakan pengalaman baru di mana saya bisa ikut naik ke truk buruh yang sebenarnya akan digunakan sebagai tempat ketua mereka untuk melakukan orasi,” urainya. Shanaz senang karena di balik orasi berapi-api para demonstaran, ternyata mereka amat ramah. “Karena ketika saya meminta izin untuk naik ke atas truk langsung diperbolehkan, meminta untuk wawancarai juga langsung setuju,” ceritanya.
Reporter on-cam lainnya, Vividha Jati membagi kisah tentang masalah terkait teknis peliputan. “Suara bising dari musik dan masa yang sedang berorasi dan saat akan melakukan longmarch menjadi kendala bagi kelompok kami yang tidak berhasil meminjam microphone untuk peliputan ini,” ungkapnya. Untuk mengatasi kendala audio, mereka mengantisipasi dengan mengambil gambar dari jarak yang tidak terlau dekat dengan massa, dengan hanya dibantu dengan menggunakan handphone, agar suara semakin jelas saat disatukan dengan video yang akan ditayangkan.
Vivi menegaskan, pengalaman yang diperoleh dari liputan May Day sangat berharga. Banyak hal baru yang membuatnya menjadi lebih maju karena mencoba beberapa pekerjaan ‘real journalist’, seperti menjadi reporter dan juru kamera layaknya televisi profesional. “Jam terbang akan melatih kami untuk menjadi reporter yang berbicara dengan fasih tanpa gugup di depan kamera,” tekadnya.