Hari Liverpool Disulitkan Bayangannya Sendiri

“Brentford
Don’t make it bad,
Take a sad song and make it better,
Remember to let her into your heart
Then you will start to make it better, better, better, better, ooh.

Na na na,
Na na na na Brentford,
Na na na,
Na na na na Brentford..”

(dinyanyikan dengan gaya lagu ‘Hey Jude’-nya The Beatles)

John William Henry adalah patron pemilik klub yang membangun metode ‘moneyball’ dalam pengembangan sebuah tim. Sosoknya dimainkan oleh Arliss Howard, dengan peran mendekati Billy Beane (Brad Pitt) untuk mengiming-iminginya berpindah dari Oakland Athletics ke Boston Red Sox.

Meski Billy memutuskan ‘hidup tenang’ dan tak mau menerima tawaran dollar lebih gede dari JWH di Boston, tapi cara sukses Billy bersama Oakland dijiplak JWH sehingga Red Sox jadi juara setelah dahaga 86 tahun.

Cara ‘moneyball’, sebagaimana ditulis dalam buku ‘Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game’ yakni membangun tim dengan undervalued, menerapkan analitik, dan juga sabermetrics. Bahasa gampangnya teknologi. Atau istilah kekiniannya, HPU: high performance unit. Tidak perlu mahal untuk sukses. Tapi pakai data. Big data. Sebagaimana Om Nadiem membangun kerajaannya.

Suka tidak suka, FSG nya Henry memuaskan rasa lapar Kopites dengan gelar juara liga setelah dekade. Dengan bonus juara Liga Champions plus Juara Dunia. Dengan skuat yang bisa dibilang ‘rata-rata air’. Jurgen Klopp memoles pemain dari tim degradasi macam Gini Wijnaldum, Andy Robbo dan Xerdan Shaqiri. Dari pemain biasa jadi berkalung juara. Setelah misi sukses, dijual deh.

So does Brentford. Di sinilah pabriknya Mohamed Said Benrahma, diamati dari klub tier tiga dan tier lima Liga Prancis Chatearoux dan Gazelec Ajaccio, untuk kemudian menghasilkan 30 juta pounds saat dilego ke West Ham.

Kembali mengamati pemain dari Prancis, Neal Maupay, Brentford mempermaknya hingga jadi jagoan di Brighton Hove Albion. Nilai transfer Maupay sekitar 20 juta pounds, meski tak pernah dibuka resmi angkanya.

Hal yang sama terjadi saat menaikkan derajat Ollie Watkins. Brentford nemu dari Weston-super-Mare lalu dijual ke Aston Villa 28-33 juta pounds. Jadi rekor tertinggi transfer di klub London Barat itu.

Hebat banget, siapa sih otak kembalinya Brentford kembali ke kasta tertinggi liga setelah 74 tahun?

Tidak lain tidak bukan, itu karena sosok Matthew Benham, pejudi profesional dan pemilik Brentford FC.

Benham lulusan Oxford University, bekerja di bidang keuangan selama 12 tahun dan sempat menjabat sebagai Vice President di Bank of America. Namun pada tahun 2001, ia memutuskan berganti karir.

Matthew Benham bergabung dengan perusahaan judi olahraga, Premier Bet. Di sana, ia belajar langsung dari salah satu pejudi tersukses dunia, Tony Bloom. Benham bekerja di sana hingga 2003 sebelum mendirikan sendiri perusahaan judinya, Smartodds pada tahun 2004.

Dalam waktu singkat, keahliannya di bidang algoritma, data, dan statistik membuatnya jadi pejudi sukses. Dari inilah ia punya dana melimpah untuk mengakuisisi Brentford.

Setelah resmi menjadi pemilik The Bees, Benham juga menghabiskan 10 juta dolar untuk membeli saham FC Midtjylland, klub Liga Super Denmark pada Juli 2014.

Tujuannya sederhana. Selain meraup untung, klub berjuluk The Wolves itu ia gunakan untuk menguji konsep moneyball-nya. Semua ide yang berhasil kemudian ia terapkan di Brentford.

Secara sederhana, tujuan ‘moneyball’ adalah untuk membangun skuad kompetitif berlandaskan teori ekonomi dengan modal kecil demi keuntungan besar. Sementara konsep dasar ‘moneyball’ adalah untuk mengevaluasi nilai seorang pemain dengan memakai data, statistik, dan hitung-hitungan matematis.

Berpikir logis, ekonomis, dan punya intuisi kuat sangat penting dalam menjalankan ‘moneyball’. Benham yang punya latar belakang sains dan ekonomi tentu tak sulit untuk menjalankannya. Seperti Billy Beane, Benham tak sendirian. Ia dibantu Rasmus Ankersen untuk mengelola klub yang bermarkas di Brentford Community Stadium, stadion ‘kecil’ dengan 17.250 kapasitas penonton.

“Katakan saja Anda saat ini tengah memantau 2 striker. Salah satu di antaranya dalam 4 laga mendapat 3 peluang dan mencetak 3 gol, sedangkan pemain satunya lagi bermain dengan jumlah laga yang sama mendapat 10 peluang tapi tidak mencetak gol. Manakah yang akan Anda pilih?”

“Semua orang akan mengatakan untuk mengambil pemain yang pertama karena lebih efektif. Sedangkan kami akan mengambil yang kedua karena untuk striker kami tak melihat seberapa efektif dia mencetak gol, namun seberapa konsisten ia menempatkan diri sehingga mendapat banyak peluang dengan kemungkinan mencetak gol lebih tinggi.”

Perumpamaan ini seperti halnya para penikmat sepak bola memahami statistik seperti Expected Goals (xG) dan Expected Assist (xA). Benham menggunakan statistik seperti itu.

Jadi ya, karena menghadapi tim yang seperti menjiplak dirinya, jangan heran jika Liverpool kesulitan di babak pertama. Ibarat catur, kita melangkahkan kuda, eh lawan ambil langkah yang sama. Tak ada hukum yang melarang.

Mo Salah mau bikin gol dicleareance off the line oleh salah satu bek Brentford, Kristoffer Ajer. Eh, empat menit kemudian dibalas Bryan Mbeumo yang hampir mencetak gol sebelum disapu Joel Matip di garis penentu gawang.

Ethan bikin gol akibat kelengahan sistem pertahanan The Reds, dibalas pula oleh sundulan Diogo Jota mengkonversi kapten Hendo. 1-1 dari dua tim moneyball di paruh pertama.

Di babak kedua, kedua tim saling mengejar. Gol Mo Salah yang lolos dari jerat hukum offside dan tendangan jarak jauh Curtis Jones gagal membawa Liverpool mendulang tiga point. Hasil akhir 3-3 membuat Jurgen Klopp menaruh rasa hormat pada Thomas Frank, arsitek Brentford asal Denmark.

Gol kedua Liverpool adalah sejarah. Salah mencatat rekor sebagai pemain tercepat dalam sejarah Liverpool yang bisa mencatat 100 gol di kompetisi liga dengan melalui 151 pertandingan. Tak heran, Klopp memuji pria Mesir itu.

“Mo adalah mesin gol, tentu saja. Profesionalismenya benar-benar tiada duanya. Dia benar-benar melakukan segalanya untuk selalu bugar, untuk selalu konsisten – pertama datang, terakhir pulang, semua hal itu. Jadi, begitulah Mo,” kata Klopp.

Liverpool kesulitan melawan bayangannya sendiri. Semoga jadi cambuk sebelum menjamu Manchester City, saingan abadi berebut pucuk klasemen beberapa musim terakhir.

ditayangkan di

 

Hari Liverpool Disulitkan Bayangannya Sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published.