Lompat Batu Bukit Matahari

Setelah tugas utama rampung, kami memutuskan menuju Nias Selatan. Perlu berkendara tiga jam dari Gunungsitoli ke kabupaten yang beribukota di Telukdakam.

Kalau Anda masih ingat gambar atraksi lompat batu di uang seribu lawas berwarna biru, itulah lokasi yang kami tuju.

Sebuah desa wisata nan sejuk dan tenang. Desa Bawomataluo menjadi desa adat di Kecamatan Fanyoyama, Kabupaten Nias Selatan yang sangat kental dengan Tradisi Lompat Batu. Bawomataluo, dalam bahasa Nias, berarti bukit matahari. Sesuai dengan letaknya yang berada di atas bukit dengan ketinggian 324 meter di atas permukaan laut, dibangun berabad-abad lalu.

Warga Nias menyebut Tradisi Lompat Batu, dalam bahasa setempat, dengan nama Fahombo. Sebuah tradisi yang hanya dilakukan oleh laki-laki suku Nias.

Tradisi Lompat Batu biasanya dilakukan para pemuda dengan cara melompati tumpukan batu setinggi 2, 10 meter untuk menunjukkan bahwa mereka sudah pantas untuk dianggap dewasa secara fisik. Selain ditampilkan sebagai acara adat, Tradisi Lompat Batu ini juga bisa menjadi pertunjukan yang menarik, khususnya bagi para wisatawan yang datang ke sana.

“Ah, terlalu murah ini. Harga tiket harusnya lebih dari 5 ribu,” seloroh saya pada petugas registrasi dan pembelian tiket di pos menuju tangga Bawomataluo.

Saya bercerita kepada kawan-kawan lokal di sana, bahwa di tempat wisata seperti ‘Kawah Putih’ Jawa Barat, harga tiket untuk warga negara Indonesia dan foreigners pun dibedakan.

“Ya, harga tiket itu sudah diperdes (peraturan desa) kan,” kata seorang ASN Nias Selatan pada saya.

“Sebenarnya harganya perlu dinaikkan, tapi kami baru berencana melakukan hal itu jika sudah bisa sekalian menjadikannya satu paket dengan cinderamata,” ungkap Ricky Zagoto, sarjana farmasi dari sebuah kampus di Medan yang menjadi pemandu wisata kami.

Ricky menemani kami berkeliling bersama karibnya, Fahri Fauzhi Fau. “Terima kasih sudah datang dan memotivasi kami,” kata Fauzhi.

Di sana kami menyaksikan Karolus Siswanto Bali, pemuda 17 tahun yang melakukan atraksi lompat batu bagi kami. Untuk ‘memesan’ atraksi, biaya yang ditetapkan Rp 150 ribu sekali lompat. Sementara untuk sewa baju adat, perlu merogoh Rp 25 ribu saja. Adapun souvenir seperti gelang, gantungan kunci dan hiasan meja, bisa dibeli dari rentang 30-600 ribu rupiah.

Rumah raja

Liputan6.com menulis, bukti sejarah kejayaan leluhur masyarakat Nias yang masih terjaga dengan baik tampakpada sebuah rumah besar berbentuk persegi dengan atap menjulang ke angkasa setinggi kurang lebih 40 meter. Omo Nifolasara Sebua demikian nama rumah besar itu yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti rumah besar yang menjadi pusat orientasi desa.

Rumah besar yang tak lain milik raja di desa itu berada tepat di tengah-tengah kampung dan paling besar di antara omo hada (rumah tradisional) lainnya. Untuk menambah kemegahan rumah serta untuk menunjukkan kekuasaan pemiliki rumah biasanya omo sebua (rumah besar) ditambah 3 lasara (3 naga) serta berbagai ornamen yang menambah kesan magis.

Konstruksi Omo Nifolasara Sebua sangat unik, dibangun tanpa paku. Hanya dengan pasak kayu untuk mengikat dan menyambung palang kayu satu dengan yang lain. Pada bagian bawah rumah disangga oleh kurang lebih 60 tiang yang saling menyilang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu glondongan (utuh dan bulat) yang sangat besar. Konon didatangkan dari luar Pulau Nias, seperti Pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar Nias.

Saya mencoba untuk memeluk salah satu tiang yang ada di tengah bangunan, tapi rengkungan kedua tangan saya tak cukup untuk memeluknya. Artinya tiang-tiang penyangga rumah itu sangatlah besar. Tak heran, saat gempa besar menimpa Nias, rumah ini tetap berdiri tegak meski sempat goyang ke kiri dan kanan.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Omo Nifolasara Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makan para pekerja. Puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Nifolasara Sebua selesai dibangun. Uniknya, seluruh tengkorak kepala babi selama empat tahun dijadikan dekorasi interior rumah dan masih ada hingga kini.

Di balik megahnya bangunan rumah raja ini terdapat kisah sadis. Masih menurut cerita salah seorang warga di kampung itu, setelah Omo Nifolasara Sebua selesai dibangun, atas perintah raja, 40 pekerja yang mengerjakan Omo Nifolasara Sebua dibunuh. Ini dilakukan agar teknik pengerjaan rumah tidak disebarkan dan ditiru.

Ah, selain rumah raja itu, ada lebih dari 600 rumah di desa ini. Sunset dari Pantai Nias Selatan, tak jauh dari Pantai Sorake yang jadi tujuan utama wisatawan mancanegara berselancar, menjadi hidangan tak ternilai sore itu.

Saohagölö, terima kasih saudara-saudariku di Nias Selatan. Semoga bisa datang lagi, menyaksikan anak muda angkatan kerja nan cerdas ini maju berkembang…

Leave a Reply

Your email address will not be published.