Penerbangan pertama berjalan tuntas. Berpegang pada Tiga B. Welcome to Uni Emirat Arab.
“Jangan lupa Tiga B dalam perjalanan kali ini. Berdoa. Bersyukur. Bersukacita. Tiga ayat paling pendek di Alkitab,” begitu pesan Joppy Taroreh, tour leader Holy Global Tour saat briefing via zoom maupun jelang keberangkatan di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Bersama Romo Alfianus Windy Tangkuman dari Manado, Joppy Taroreh menjadi pemimpin tur kami selama dua pekan ke depan.
Perjalanan dimulai dengan pesawat Boeing 777-300 Extended Range bernomor penerbangan EK 359 Emirates Air. Dari Jakarta ke Dubai menempuh 7 jam 43 menit waktu perjalanan sejauh 4156 miles.
Lewat di atas Sumatera ke barat, Bengkulu ke laut lepas Samudera Hindia melintasi wilayah udara Bengalore India, Srilanka, hingga memasuki kawasan Timur Tengah.
Mendapat suguhan omelet dan noodle, berteman film Si Doel 3 di layar entertain Emirates, kami mendarat di Dubai International Airport (DXB) pukul 5.10 waktu setempat. Waktu Dubai tiga jam lebih lambat dari Jakarta.
“Kita bersyukur mendarat di Dubai. Hari pertama perjalanan kita bertepatan dengan Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis pada kalender liturgi gereja,” kata Romo Alfian Windy. Bersemangat ia memimpin beberapa lagu pujian.
Dubai merupakan sentra bisnis dan kota terbesar di negara Uni Emirat Arab. Meski bukan jadi ibu kota. Pusat pemerintahan kerajaan yang terdiri dari tujuh keemiran alias negara bagian ini terletak di Abu Dhabi, sekitar dua jam jalan tol dari Dubai.
Karena jadi pusat bisnis, tak salah bandara DXB ini mueegaaahhh sekali. Salah satu bandara tersibuk di dunia. Maklum, kalau dari Asia mau ke Eropa, hub atau penghubungnya bisa lewat sini. Opsi lain via Changi, KLIA, Tokyo, Beijing, Bangkok, atau Incheon. Tapi, karena letaknya termasuk dekat ke Eropa, Dubai lah yang paling banyak jalur.
Mendarat di DXB nampak pesawat-pesawat berbodi besar berjajar sana sini. Tentu mayoritas milik Emirates. Selain itu, nampak depan mata saya Fly Dubai, Royal Jordanian, Qatar Airways, Royal Brunei, Uganda Airlines, Egypt Air dan lain lain.
Ah, kami hanya punya maksimal 4 jam untuk city tour di Dubai. Turun pesawat pakai bus airport. Koper besar ditinggal karena akan dikoneksikan pada flight Dubai-Amman EK 903 pukul 14 nanti.
Keluar urusan imigrasi pukul 8 pagi. Sah. Dapat satu stempel negara baru di paspor.
Kami dijemput dua guide ‘lokal’. Seorang bernama Dwi Arika, lelaki muda asal Bandung yang setahun ini tinggal di Dubai. Satu lagi Abid Sahali, Arab brewok akamsi.
“Saya memang mencari dirham di sini,” kata Dwi saat saya tanya apa tujuannya hidup di Dubai. Sekolahkah?
Rupanya, lulusan sebuah sekolah pariwisata swasta di Bandung ini pernah tinggal di Dubai 2011-2013. Kerja trading. Setelah pandemi, ia balik ke UEA untuk adu peruntungan. Mencari dirham tadi. O ya, satu dirham sekitar 4 ribu rupiah.
Dwi berkisah betapa biaya hidup di Dubai amat tinggi. Untuk kos-kosan partisi seukuran 2 x 1,5 meter ia harus membayar 1200-1500 dirham atau Rp 4-6 juta rupiah per bulan.
“Kalau apartemen full studio sekitar 4-5 ribu dirham sebulan. Ya, 20 jutaan rupiahlah. Padahal kalau di Bandung, uang segitu bisa buat sewa apartemen setahun,” katanya membandingkan.
Karena itu, kalau ada tawaran kerja di Dubai, minimal harus dapat gaji 5 ribu sebulan. “Itupun dengan catatan akomodasi ditanggung perusahaan,” cetusnya.
Dubai tidak lebih besar dari Jakarta. Populasinya 4 juta orang. Lumayan padat. Dari jumlah itu, hanya sebelas persen prang lokal.
“Lainnya dari India, Pakistan, Filipina, Srilanka, Bangladesh dan imigran perantau lain. Jadi, orang Arabnya cuma sekitar 600 ribu orang,” terang Dwi.
Beragamnya penduduk Dubai membuat kota ini menjunjung tinggi toleransi. Jamak ada masjid berdampingan gereja atau pura.
“Pemerintah membebaskan warga menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” cerita Dwi.
UEA memang Arab, tapi Arab yang liberal. Konon tak susah melihat perempuan berbikini atau memakai outfit transparan di pantai-pantai negeri emir ini.
“Kalau kasino memang tidak ada. Tapi night life banyak lah,” celetuknya.
Orang Indonesia maksimal 100 ribu orang. Baik di Dubai maupun kota-kota sekitar. Mayoritas bekerja di sektor pariwisata seperti hotel. Paham kan, hospitality orang kita memang terkenal juara.
Rumah makan Indonesia setidaknya ada empat: Selera Nusantara, Seleraku, Dapur Kita dan Indo Corner. Ada pula Indomart dan Alfamart yang sama sekali tak berafiliasi dengan minimarket sejuta umat di tanah air.
Tingginya biaya hidup juga terlihat dari biaya masuk sekolah. Uang pangkal SD sekitar 50 juta rupiah. Tapi, eits itu semua berlaku bagi orang asing alias pendatang.
“Bagi warga lokal, tanpa kerja pun dapat penghasipan dari negara. Ibaratnya, bayi masih dalam kandungan sudah ada bagiannya. Mau nikah pun, pemerintah kasih lahan untuk hidup berkeluarga,” urainya.
Memakai bus King Long berkapasitas 52 orang, kami sempat ke beberapa lokasi ikon Dubai. Fast check point aja, sih. Dapat cerita di bus, foto-foto sepuluh menit lalu naik bus lagi. Sebabnya, ya itu tadi, jam 12 sudah harua di Dubai Internasional Airport lagi. Demi pesawat ke Yordania pukul 14.
Melalui Sheikh Rashid Street, jalan tol berbayar yang diambil dari nama pendiri Dubai, check point pertama kami adalah “hotel bintang tujuh” Burj Al Arab, di kawasan Jumeirah.
Dibangun 1994-1999, hotel bermotif tower kapal ini tarif kamarnya bisa sampai Rp 40 juta per malam. Khusus president suite, pada season tertentu tembus di angka Rp 600 juta per room per night.
“Hotel ini terbuat dari pulau buatan alias reklamasi. Dari lobby sampai kamar presiden suitenya berlapis emas 24 karat. Di atas ada helipadnya,” kata Dwi.
Makanya, kalau di Indonesia ada “puyer bintang tujuh”, maka di Dubai ada “hotel bintang tujuh”.
Tak lama kami selfie selfie di depan Burj Al Arab, segera naik bus menuju perhentian kedua: Dubai Future Museum.
Ah, summer di Dubai panas sekali. Pada Juni seperti ini suhu udara pagi menyentuh 32 derajat Celsius. Siang merambat 40-55 derajat. Di Juli Agustus bahkan bisa tembus 60 derajat Celsius!
Sebaliknya, di winter Desember-Januari suhu bisa di bawah 10 derajat Celsius. Ya, rata-rata 5 derajatlah. So, waktu ideal berkisar Februari-Maret dengan temperatur hangat 15-20 derajat Celsius.
Pantaslah, Piala Dunia di Qatar yang harusnya bulan ini digeser ke akhir tahun 2022. Yang bener aja mau main bola disentrong matahari 40 mpe 50 derajat Celsius?
Sekilas lewat Dubai Future Museum, kami merasakan semilir pendingin ruangan dari dalam. Padahal kami hanya foto-foto di luar. Di patung ikonik bergambar tiga jari tangan serta desain eksterior museum nan futuristik.
Salam salut tiga jari itu artinya, “win, victory, and love”, awalnya diperkenalkan pada 2013 di sebuah acara pertemuan pemerintahan oleh Yang Mulia Sheikh Mohamed Bin Rashid Al Maktoum , yang menjabat Wapres, Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan UEA, sekaligus penguasa Dubai.
Konon, di dalam museum yang diresmikan pada 2-2-2022 in ada tiga lantai. Lantai satu berisi prediksi dunia yang akan datang seperti perang astronomi, hujan meteor, dan sebagainya.
Lantai kedua menampilkan alat-alat modern manusia dalam perang itu, seperti mobil terbang dan kapsul menuju angkasa. Sementara lantai ketiga memajang imajinasi bagaimana anak-anak menjadi hero atas krisis yang digambarkan terjadi di lantai dasar.
Naik bus lagi, kami menuju Mall of Dubai yang berdempetan dengan Burj Khalifa.
Mal Dubai digolongkan sebagai mal terluas di dunia. Besarnya kira kira gabungan 50 lapangan sepak bola berstandar FIFA dijajar jadi satu. Di dalamnya ada 1.600 tenan. Eh, ada juga akuarium raksasa dengan ikan-ikan garang seperti hiu dan piranha di dalamnya. Dalam keganasan satwa air itu, tampak seorang penyelam seperti membagi makanan pada ‘kawan-kawan’ nya.
Dan, inilah Burj Khalifa, ikon Dubai. Oh ya, Burj artinya tower, menara. Kalau hotel tadi namanya Burj Al Arab ya berarti menaranya Arab, jadi Burj Khalifa ya menaranya kalifah.
Dubai selalu membangun sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada di dunia. Kalau pun sudah ada, ya harus lebih. Kala itu, Petronas dianggap menara tertinggi di Asia, maka pada 2004 Dubai mulai membangun Burj Khalifa. Pencakar langit setinggi 832 meter, 166 lantai dengan 40 lift ini baru kelar pada 2010.
Harusnya selesai pada 2008, tapi pada tahun itu Dubai alami krisis ekonomi.
“Awalnya mau diberi nama Burj Dubai, tapi karena saat krisis itu dapat suntikan dana dari Sheikh Khalifa Abu Dhabi, maka namanya jadi Burj Khalifa,” urai Dwi.
Sheikh Khalifa bin Zahyid Al Nahyan merupakan mantan Presiden Uni Emirat Arab dan Emir Abu Dhabi.
Hanya dua lantai yang bisa diinjak wisatawan yaitu lantai 144 dan 146. Sementara lantai-lantai lain merupakan area komesial seperti apartemen, kantor, dan hotel.
Sebenarnya sejak sepekan sebelum berangkat, kami sudah didata apakah berniat naik ke atas Burj Kalifah. Biayanya 60 USD per orang. Hahahaha… jadi jangan sedih ya kalau Borobudur akan ditarifkan Rp 750 ribu untuk naik stupa. Percayalah, Burj Khalifa lebih mahal dari Mbudur.
Namun, karena waktu mepet dan buka towernya lebih siang, kami urung naik. Biaya yang sudah disetor nantinya akan dikembalikan pihak agen perjalanan. Cukuplah kami berpose di bagian belakang Mall of Dubai berlatar Burj Kalifah. Ajaibnya, pas cekrekan kami berempat berpose, air mancur di depan Burj Kalifah menari ke langit. Thanks God.
“Jalanan Dubai dulu tidak seperti ini. Di mana-mana gurun. Semua berubah saat 1970-an ditemukan ladang minyak pertama di sini,” ungkap Dwi saat bus melintas Sheikh Zayed Road.
Tapi, pemerintah Dubai tak terlena. Mereka sadar, minyak empat miliar barel itu suatu saat akan habis. Jauh dari emas biru yang dimiliki Arab Saudi, Irak, atau Oman. Maka, mereka pun mengembangkan potensi lain.
“Di Dubai, minyak hanya jadi sektor penyumbang devisa peringkat ketujuh. Di atasnya ada properti, perdagangan, pariwisata…” jelas Dwi lagi.
Bukan berarti tak ada susah di sana. Tapi pemerintahan kerajaan kan amat terkontrol. Harga BBM fluktuatif. Pekan ini, per liter 4 dirham alias Rp 16 ribu.
“Bulan lalu masih 2,5 dirham per liter,” kata Dwi.
Minyak goreng juga tak kalah mahal. Bisa dua kali lipat dari harga migor di tanah air. Tapi mana berani orang sini protes. Kalau para pendatang tak terima, bisa dipulangkan ke negara asalnya.
Selain itu, krisis ekonomi membuat pajak diketatkan di sini. Baik pembeli maupun penjual kini memikul tax lebih berat.
Meski begitu, keamanan menjadi hal yang patut diapresiasi di Dubai.
“Ibaratnya, Anda tinggalkan mobil mewah Land Rover, kunci ditinggal, tak akan hilang,” tukas Dwi.
Bukan hanya karena warganya sudah makmur, tapi karena peraturan hukumnya sangat ketat. Terutama jika pendatang melanggar hukum atau berurusan dengan warga lokal.
Ada satu obyek wisata tak jadi kami hampiri. Cuma dilihat dari bus. Namanya ‘Dubai Frame’. Semacam pigura super raksasa.
“Diresmikan 18 Maret 2018, Dubai Frame ini seperti memisahkan Dubai Utara yang lebih tradisional dan Dubai Selatan nan metropolis,” kata Dwi.
Setengah jam jelang kembali ke bandara, kami masih sempat makan siang di restoran Filipina. Namanya ‘Hot Palayok’. Letaknya di kawasan Al Karama, Menunya Nasi Jasmine, Hainanese Chicken, Tam Kha Gai, Nilagang Baka, Ginisang Sitaw at Kalabasa, Pritong Isda, dan Ginatang Bilo-Bilo. Juga ada sushi, salad, udang, kepiting, serta ikan bakar.
Di sini saya sempat ditegur mbak Alona, waitres Filipina yang meminta saya mengenakan masker saat mengambil ‘tanduk’ alias ‘imbuh’ makanan tambahan. Yap, sepaniang hari di jalanan Dubai kami lihat orang lalu lalang masih tertib pakai masker.
Ah, cukuplah 4 jam belanja mata di Dubai. Saatnya kembali ke DXB, bandara megah itu, melanjutkan perjalanan ke Yordan selama 2-3 hari.
Salam berkah dari kota penuh inspirasi, yang juga mahal, serba ter dan wah (bangunan tertinggi, mal terbesar, bandara tersibuk) sembari terus mendoakan, mensyukuri, dan bersukacita atas tanah air kita. Indonesia.