Bertemu sahabat lama di masa kuliah. Lebih dua dekade tak bersua.
Kala mudik keluarga berempat ke Yogya sekian tahun lalu, saat jalan tol Trans Jawa belum tersambung hingga Semarang-Solo, beberapa kali kami keluar tol Brebes, melewati Ajibarang lalu masuk Jalur Selatan menuju Banyumas, Kebumen, Purworejo hingga Kulonprogo.
Setiap melintas kawasan itu, terlihat nama daerah Cilongok, Purwokerto, saya kerap berpikir untuk berkunjung ke kawan lama. Sahabat di kampus, sesama angkatan 1995 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga. Ali Rusmanto, asli Banyumas, merantau ke Surabaya untuk kuliah, hingga mempersunting pendamping hidup dari Fakultas Psikologi: Lukki Martadestari, yang blasteran Solo-Ponorogo-Situbondo.
Akhirnya, pekan lalu, kala berlongweekend di Kabupaten Banyumas, bisa juga bertemu dengan Ali. Bahkan semalam menginap di rumahnya, Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Tak jauh dari lereng Gunung Slamet.
“Masuk desaku ukurannya Pemancar BTS. Ada empat BTS di sini. Dari jalan raya masuk Desa Losari dulu, nah di BTS kedua itulah Desa Karang Tengah,” kisahnya dari balik kemudi Kijang Krista kesayangannya. Kami pun mengenang masa-masa bersama begadang di kampus, demi menonton Liga Champions Eropa di televisi kost-kostan kawan. Pun kami pernah bersama di Retorika, majalah kampus kebanggaan Fisip Unair.
Ali dan Luki punya tiga anak laki-laki: Jolang, Bondan, dan Trisna. Tapi, tinggal dua yang sehari-hari bersama di rumah sederhana itu. Yang pertama “dititipkannya” di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin asuhan Gus Mustofa Bisri di Rembang. “Ada dua tokoh yang saya kagumi: Gus Dur dan Gus Mus. Gus Dur sudah tiada, saya sempat seruangan kala Muktamar PKB di Surabaya, tapi urung bisa bersalaman. Tinggal Gus Mus yang jadi panutan,” kisah Ali yang kini menangani usaha penggilingan padi.
Kepada anak-anaknya, Ali berkisah, bahwa kami punya banyak kesamaan sebagai mahasiswa dan penggemar bola. “Bedanya, Jojo pendukung Liverpool dan saya Manchester United,” candanya. Dua anak lanang itu pun, tanpa diduganya, menjadi suporter MU yang tak kalah loyal dibanding bapaknya. “Tanpa saya tahu, mereka memesan jersey MU secara online,” ungkap Ali.
Bicara bola, kami juga mengenang memori bersama nonton langsung Persebaya menjamu PSM Makassar di Liga Indonesia, mungkin sekitar 1995 atau 1996 ya. Di Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya itu, Ali masih mengingat suasana mencekam saat Yusuf Ekodono dan kawan-kawan ketinggalan gol dari PSM. Untung di akhir pertandingan, ‘Green Force’ bisa comeback dan menang. “Saya tak bisa bayangkan kalau tuan rumah kalah kemudian rusuh,” ceritanya di warung angkringan Pak Tarsun, yang buka hingga jam sebelas malam di depan Pasar Karang Tengah, Cilongok.
Di kampung seperti Cilongok, kami melihat semua kehidupan aman dan baik-baik saja. Tak perlu risau berita inflasi tinggi, atau pemerintah Amerika Serikat terancam kolaps. “Saya tak percaya kalau dibilang rakyat kita kesulitan ekonomi. Buktinya, Pasar Malam dan acara-acara desa apa saja masih ramai. Setiap ada acara dan warga diminta berpartisipasi, masih mau dan mampu, kok,” ungkap Ali.
Desa itu begitu tenang. Mereka hidup dengan ritme yang alami. Meminimalkan bicara politik antar warga. Meski begitu, Ali sempat juga menyinggung suhu hangat jelang Pilpres 2024. “Dari tiga kandidat capres yang banyak beredar, cuma dua yang laku di sini,” katanya tertawa.
Lalu kami tertawa bersama. Mengangkat gelas kopi dan mendoan, makanan ringan yang tidak bisa tidak harus dimakan di tempat asalnya. Banyumas yang membuat kita jadi cerdas tanpa harus hidup serba bergegas.
Luar biasa. Sebuah persahabatan yang hangat. Hebat yang menulis. Hebat juga yang ditulis. Semoga tetap menjadi kenangan yang tak terlupakan. Meski mungkin tak dapat terulang. Barakalloh ????