Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020
Cuplikan adegan Jojo-Sinta dalam iklan Genre BKKBN. Ogah kawin muda.
Berapa umur Jojo dan Sinta sehingga mereka memutuskan ikut Keluarga Berencana? Tidak usah dipikirkan jawabnya, tapi percaya atau tidak, mereka kini menjadi ikon KB, dalam sebuah iklan keluaran BKKBN, badan yang mengurusi perencanaan keluarga di Indonesia. Duet ‘mendadak tenar’ ini tampil di layar kaca untuk mengingatkan potret keluarga muda yang gagal dalam membina keluarga, akibat membangun rumah-tangga tanpa perencanaan. Sudah pernah lihat tayangannya, kan seperti tertaut di sini, kan…
Ini film dokumentar keempat yang dibuat sutradara muda Andibachtiar Yusuf dalam bendera Bogalakon Pictures. Sebelumnya Ucup –begitu sapaan penggila bola yang lulusan jurnalistik Universitas Padjajaran ini akrab disapa- telah melahirkan The Jak (2007), The Conductors (2008) dan Romeo Juliet (2009). Rencananya, Hope akan diputar perdana pada Jakarta Internasional Film Festival (JIFFEST) Desember mendatang.
“Indonesia akan begini-begini aja kalo loe cuma bisa protes,” kalimat dari Pandji Pragiwaksono, presenter yang juga dikenal sebagai penyanyi hip-hop itu seperti menjadi kata kunci film berdurasi 76 menit ini.
Di Inggris sudah biasa orang mengakui “football” sebagai agama mereka
Mengunjungi Stadion Arena, markas Ajax Amsterdam. Salah satu kiblat sepakbola Eropa.
Rasanya tidak ada hal lain, di luar agama, yang mampu menyatukan sekelompok manusia dibandingkan fanatisme terhadap tim sepakbola. Itulah yang kita lihat dalam gemerlap pesta bola di Afrika Selatan sepanjang 11 Juni hingga 11 Juli ini.
Sepakbola memang bak punya kuasa magis untuk menimbulkan passion alias gairah tersendiri. Bill Shankly, salah seorang manajer tersukses di Liga Inggris, pernah berkata, “Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it’s much more serious than that.”
TEMPO Interaktif, Jakarta:Front Pembela Islam (FPI) selama ini dikenal sebagai perusak tempat-tempat hiburan yang buka saat bulan puasa. Atau penggerebek tempat-tempat judi. Namun, karena tindakannya dianggap berlebihan, serta melampaui kewenangan, yang datang justru kecaman.
Dalam peristiwa bencana tsunami di Aceh, FPI justru membuahkan hasil yang menggembirakan. Relawan FPI-lah yang menemukan mayat, Jurubicara Polda Aceh, Sayed Husaini, padahal selama ini FPI sering berseberangan dengan polisi. Di Aceh, FPI juga tidak terdengar bentrok dengan relawan lain, baiki sipil, militer maupun asing.
Himbauan memakai batik di dunia pendidikan, kampus Mercu Buana Meruya.
Pekan ini, kita memperingati satu tahun Hari Batik Nasional, setelah pada 2 Oktober 2009 silam Badan PBB yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan sosial budaya mengakui batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia.
Setahun berselang dari pengakuan dunia itu, kecintaan dan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap batik ternyata tidak berkurang. Di kampus Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta misalnya, mahasiswa disarankan memakai baju batik selama perkuliahan 2 dan 3 Oktober. ”Kami ingin menghargai budaya nasional dan mengangkat batik sebagai warisan kultural yang telah diakui dunia,” kata Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UMB, Heri Budianto.
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Perjalanan Koran Tempo Minggu, 20 Februari 2005
Keindahan pantai Pulau Weh masih mempesona.
Monumen kilometer nol batas paling barat Indonesia. Kapan ya bisa ke batas paling timur Indonesia?
Gempa dahsyat 8,9 skala Richter diikuti gelombang tsunami yang meluluhlantakkan wilayah pantai barat Aceh akhir tahun lalu sempat membuat putus arus transportasi dan komunikasi Banda Aceh dengan dunia sekitar. Termasuk dengan Pulau Weh, pulau paling barat di peta Indonesia. Nusa dengan 24 ribu penduduk yang masuk dalam wilayah kota Sabang ini jadi tak jelas kabarnya.
Ketika sebagian besar kota Banda Aceh yang berada di sudut pantai barat Samudra Indonesia hancur lebur, orang pun berpikir, Pulau Weh yang bak noktah kecil di pusaran air besar pasti sudah tamat riwayatnya. Terbayang pula, lagu nasional Dari Sabang Sampai Merauke karya R. Surarjo bakal direvisi liriknya.
Akun TIfatul Sembiring di twitter (gambar milik Politikana.com)
Suatu siang di Istana Negara, berlangsung acara seremonial pelantikan pejabat. Di sela-sela kebosanan acara, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring sibuk mengupdate akun twitternya. Menteri kelahiran Sumatera Barat ini memang gemar berpantun dan memberi siraman rohani secara virtual. Posisi berdiri tidak mengganggu habit Pak Menteri memencet-mencet telepon seluler. Sampai suatu saat, masuk sebuah tweet. Seorang wartawan yang juga meliput acara itu mengirim kicauan ke akunnya, @tifsembiring. “Kok nunduk terus, Pak.. Asyik twitteran ya?” Sontak Tifatul mendongak, mencari siapa gerangan wartawan yang iseng mengirim pesan itu.
Setiap mendekati Lebaran, istilah THR menjadi akrab di telinga. Eits, jangan salah, THR yang ini artinya “Tunjangan Hari Raya Keagamaan”, bukan “Taman Hiburan Rakyat”, lho. Ya, maklum saja, di Indonesia, hari raya berarti pengeluaran ekstra berkali-kali lipat. Untuk mudik alias pulang kampung, kue-kue lebaran, baju serta sepatu baru, uang lebaran buat kerabat, dan lain-lain. Masalah ini menjadi sedikit ringan kalau perusahaan menyediakan anggaran khusus berupa “uang THR” atau “gaji ke-13”, tapi bagaimana jika tidak?
Kuliah lagi di kampus megah. bukan buat gagah-gagahan.
Tak semua orang berpikir sama dan sebangun saat saya mengutarakan niat untuk kuliah lagi. Ibarat “testing the water”, saya lemparkan rencana mendaftar Program Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana, mengambil Magister Ilmu Komunikasi kelas karyawan (kuliah akhir pekan), dengan konsentrasi peminatan “Corporate Communication”.
Di antara pendapat yang tak sepakat terucap kalimat miring, “Ah, cuma nghambur-hamburin duit aja.” Selebihnya berujar, “Tega sekali kuliah di hari Minggu,” menggarisbawahi pengorbanan untuk keluar rumah di slot waktu yang sebenarnya untuk ibadah dan keluarga.
Dan sore tadi, keinginan itu telah menjadi keputusan yang termeteraikan. Bersama 294 orang lain, saya mengikuti prosesi pembukaan Program Kelas Karyawan Angkatan XVII di Kampus Meruya, Jakarta Barat. Di antara mahasiswa baru kelas khusus ini, 66 kepala di antaranya mengambil Program Magister Ilmu Komunikasi, menunjukkan tingginya minat di bidang keilmuan ini.
Tak ada seorang manusia pun yang bercita-cita meninggal saat menjalankan pekerjaannya. Tapi di Indonesia, kematian menimpa jurnalis yang sedang bertugas seperti menjadi sebuah keniscayaan. Di antara nisan-nisan itu, ada nama Fuad Muhammad ‘Udin’ Syafruddin (Yogyakarta, 1996), Elyuddin Telembanua (Nias, 2005), Herliyanto (Probolinggo, 2006), Anak Agung Prabangsa (Bali, 2009), Ardhiansyah Matra’is (Merauke, 2010) dan Ridwan Salamun (Tual, 2010).
Berharap nama dan angka itu menjadi statistik belaka, Jum’at malam (27/8) di Mabes Polri Jakarta, puluhan jurnalis dan aktivis yang menamakan diri Komite Perlindungan Terhadap Jurnalis (Kompres) menggelar refleksi 7 hari meninggalnya Ridwan Salamun. Ridwan, 28 tahun, kontributor Sun TV (MNC Grup) wafat dengan luka bacok saat meliput bentrok antar warga di Kompleks Banda Eli dan Dusun Mangun, Desa Fiditan, Tual, Maluku Tenggara, 21 Agustus lalu. Ridwan berpulang, meninggalkan istri tercinta, Nurfi Saoda Toisuta dan anaknya yang masih berumur 3 tahun, M. Rizky Zaky.