Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020
Tiba di Maui, satu dari gugusan kepulauan yang ada di Hawaii. Sempat mampir di kota tempat Barack Obama dilahirkan.
Naik Wiki Wiki, shuttle bus di bandara Honolulu. Pintu gerbang AS di Kepulauan Hawaii.
Setelah menempuh belasan jam penerbangan, akhirnya sampai juga saya di tempat tujuan ‘retreat’ selama 25 hari ke depan: Hawaii. Dari Jakarta 7 jam ke Tokyo, lanjut 7 jam lagi ke Honolulu, masih disambung 30 menit penerbangan ke Pulau Maui. Tiga penerbangan, tiga maskapai, dan empat bandara di dua benua.
Sebagaimana sebuah perjalanan, hidup adalah sebuah proses, bukan hanya hasil. Untuk mencapai tujuan itu, kita kadang mampir ke lokasi lain, dan bertemu orang-orang tak terduga.
Bandara Narita, Tokyo. Besar, berkelas, namun ramah dan penuh fasilitas.
Salah satu proses menarik dalam perjalanan dari Jakarta ke Hawaii adalah Tokyo. Ini memang bukan kali pertama saya mampir Narita, satu dari dua bandara di ibukota Jepang itu. Dua tahun silam, dalam perjalanan pulang mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) di US mainland, rute menuju Jakarta juga melalui Narita. Hanya saja, karena saat itu waktu transit amat mepet, tak sempatlah berlama-lama menikmati Narita, yang banyak digunakan untuk melayani penerbangan internasional dari dan ke Jepang. Untuk penerbangan lokal Jepang kebanyakan ada di Bandara Haneda.
Subuh ini, saya memulai perjalanan. Jika Tuhan izinkan lancar, akan menempuh tiga penerbangan, melintas dua benua, 15 jam 28 menit perjalanan, 6 jam transit, dan melampaui jarak 7532 mil.
Tiket Jakarta-Tokyo-Honolulu dan visa AS untuk kali kedua. Lancarkan semua, ya Tuhan.
Semua karena kasih karunia-Nya. Tak terlintas sekalipun dalam rencana, tahun ini kembali menginjakkan kaki di Amerika Serikat (AS). Kenangan tiga pekan berkunjung ke beberapa negara bagian jelang Pilpres 2012 –yang mencatatkan sejarah terpilih kembaliya Barack Obama- belum pudar. Kali ini, tujuan muhibah bukan ke mainland, tapi ke Kepulauan Hawaii, negara bagian ke-50 AS.
Wawancara dengan narasumber menjadi penting dalam sebuah liputan, karena di situlah terlihat orisinalitas karya reporter, selain menumbuhkan ‘aroma’ live dalam sebuah liputan di kerumunan.
Seperti juga saat meliput kampanye Partai Gerindra untuk tugas Ujian Tengah Semester, Dwita Asri tampil dengan semangat khasnya. Berbicara dengan mulut terbuka lebar dan gaya tersenyum ceria menjadi sebuah kelebihan tersendiri.
Very shocked, dan berdoa untuk keluarga pesawat Malaysia Airlines yang dikabarkan jatuh di Ukraine, dalam perjalanan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur. Sebuah catatan kecil, 4 tahun silam, usai menumpang MH dari Schiphol, Amsterdam ke KL…
Catatan kecil di Malaysia dua tahun silam: saat transit dua jam di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), jelang balik ke Jakarta setelah tiga pekan berkelana di Belanda dan sekitarnya.
MH Amsterdam-KL. Kenangan.
Well, secara umum perjalanan udara 12 jam melintasi 10.500 km dari Bandara Schiphol menuju Malaysia berjalan lancar. Seorang kawan berujar, “Kok rasanya lebih cepat pulangnya ya…” Sontak yang lain menimpali, “Ya, karena kita sudah ada perasaan hommy”,“Ya, karena saya sudah tak sabar untuk turunkan barang-barang yang banyak ini dan buka lapak di Jakarta”, meski ada juga yang bilang, “Ah, sama saja, kok. Saya hitung tetap 12 jam…”
Umur berapa Anda kali pertama bisa main catur? Apakah ada efeknya bagi cara berpikir Anda dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan?
Einzel melangkahkan buah catur. Bermain filosofi hidup sejak dini.
Amat gembira saat saya mencermati kegemaran baru Einzel: main catur. Selain lego dan monopoli –pernah saya tulis di sini-, kini Einzel punya kesukaan baru. Awal mengenal catur, saat kami liburan akhir tahun ke Dieng. Ada mainan “five in one”, yang dibeli di Yogyakarta: Halma, Monopoli, Ludo, Ular Tangga dan Catur, dalam satu karton bolak-balik. Saat itu saya berjanji, “Nanti kalau kembali ke rumah di Ciledug, ayah akan belikan papan dan buah catur yang lebih besar.”
Kini, Kereta Api di Indonesia sudah menjadi moda transportasi yang aman dan nyaman.
Einzel menikmati perjalanan KA Sancaka Yogya-Surabaya. Nyaman bepergian dengan kereta.
Naik kereta api sekarang berbeda dengan dulu. Jangan bayangkan, ada penumpang yang tiduran di atas koran, atau pelaju dengan “ongkos nembak” pada koordinator serta Polisi Khusus KA. Dulu, para “free rider” yang Pulang Jum’at Kembali Ahad, biasa memberikan Rp 50 ribu untuk perjalanan tujuan Yogyakarta yang seharusnya bayar lebih dari dua kali lipatnya. Saya mengalaminya selama 5 bulan, saat hidup terpisah di bulan-bulan awal kelahiran Einzel.
Kini, kereta Indonesia menjadi jauh lebih menyenangkan. Hanya penumpang berkarcis yang boleh masuk ruang tunggu, tak ada lagi karcis peron bagi pengantar. Pedagang di stasiun dibersihkan. Toilet digratiskan. Imbasnya, harga tiket kereta api melangit. Nyaris beda tipis dengan tiket pesawat.
Surabaya tak hanya menyisakan masa lalu nan gemilang, tapi di sinilah masa depan itu berada.
Pulang pergi melintasi Selat Madura. Sekali jalan Rp 30 ribu.
Mengitari kota kelahiran, bersama orangtua, isteri, dan anak, di liburan Tahun Baru kemarin. Dari radio mobil sewaan kami, terdengar cuap-cuap pendengar berinteraksi di FM 100.0 Suara Surabaya, radio yang didesain sebagai sarana warga kota berteriak apa saja. “Saya sudah keliling Indonesia, hampir dari Sabang sampai Merauke, tapi saya kira, di Surabaya inilah kota yang iklim usahanya paling bagus,” ungkap pendengar itu.
Sudah sejak lama Kota Pahlawan ini memilih julukan “Sparkling Surabaya”, sebagai gambaran dinamisasi kota, yang senantiasa aktif dan berkelap-kelip. Julukan yang pas sebagai diferensiasi dan jualan sebuah tempat, layaknya “Amazing Thailand”, “Uniquely Singapore”, “Malaysia Truly Asia”, “Jogja Never Ending Asia”, dan lain-lain.
Konon berasal dari kata “Di” yang berarti tempat atau gunung dan “Hyang” bermakna dewa, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.Tak salah rasanya, kawasan di sisi Gunung Sumbing dan Sindoro ini mendapat julukan “The mystique of central java“
Dieng juga dikenal memiliki “Bukit Teletubbies”. Kreativitas mengemas wisata.
Di antara berbagai lokasi yang kami kunjungi dalam liburan keluarga selama dua pekan di Natal-Tahun Baru kemarin, Dieng menjadi venue nan mengesankan. Hanya menginap semalam, tapi memori indahnya amat membekas, terutama bagi anak-anak kami, Einzel (6 tahun) dan Kirana (2).
Sesuai rencana, kami berempat menuju Dieng dengan mobil pinjaman dari Yogyakarta. Berangkat selepas sarapan, perjalanan tak buru-buru, melintasi Magelang, Secang, Temanggung, dan Wonosobo. Dari pusat kota, alun-alun Wonosobo, petunjuk menuju Pegunungan Dieng sudah terlihat, sekitar 26 kilometer menuju puncak. Menggunakan Avanza G, lekak-lekuk menuju Dieng Plateau tak terlalu menjadi masalah, meski sesekali mesti waspada menghadapi kendaraan lain yang berlawanan arah. Kami naik, dan mereka –kadang mobil atau bus wisata- beranjak turun ke arah Wonosobo.
Sudah menyaksikan film Soekarno garapan Hanung Bramantyo? Cukup direkomendasikan, meski ada kejanggalan di sana-sini.
“Soekarno: Indonesia Merdeka” diputar di Jambi. Satu dari sedikit bioskop XXI di Sumatera.
Mendarat di Jambi, Jum’at (13/12) sudah disuguhi suspense tingkat tinggi. Pesawat Garuda Boeing 737-800 NG yang membawa saya penerbangan terpagi dari Soekarno Hatta, telat 30 menit, sebelum akhirnya menembus cuaca buruk dan mendarat dengan selamat di landasan Bandara Sultan Thaha. “Pulas sekali tidur Anda, padahal para penumpang sibuk berdoa. Pesawat putar-putar terus. Mau mendarat di Palembang atau Batam, gak jadi,” kata dua pebisnis yang duduk di sampingku. Berada persis samping jendela, saya selalu membiasakan tidur dalam pesawat. Konon, udara dalam kabin pesawat, yang bak berada di kaleng besi, tak terlalu baik untuk pernafasan. Apalagi, terbang pagi membuat malamnya sama sekali tak beristirahat.