Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020

Warung Arema di Negeri Londo

Catatan kenangan dua tahun silam, menemukan warung Malang di Belanda.

Hira, bos rumah makan Sinar Djaya. Menciduk sendiri makanan bagi pelanggannya.

Betapa bersoraknya kami saat menemukan restoran Indonesia di Bussum, sebuah nama kabupaten di Belanda Utara yang tak pernah ada di peta dunia anda. Segala keluhan akan nasi dan makanan berkuah terselamatkan begitu menemukan sebuah rumah makan bernama “Sinar Djaya” yang terletak tak jauh dari pusat kota berpenduduk 30 ribu jiwa ini.

Restoran “Sinar Djaya” dikelola Hira Lal, seorang mantan pekerja di bursa efek Belanda yang banting setir menjadi wirausahawan kuliner. Hira berasal dari Kauman, Malang, dibantu dua teman sedaerahnya, Wawan asal Buring, dan Ali dari Kepanjen. Sepetinya umumnya orang Malang yang membiasakan diri dengan bahasa walikan, mereka selalu bangga mengaku sebagai “Kera Ngalam” di manapun berada.

Continue reading “Warung Arema di Negeri Londo”

Queen’s Day, it’s time to partij en feestje!

Catatan kenangan dua tahun silam, menikmati tradisi pesta Hari Ratu.

Pesta boleh, bentrok jangan. Mangga mas, diunjuk alkoholipun...

Setiap negara punya satu hari besar yang dirayakan dengan pesta besar. Saya beruntung, dalam kesempatan tiga pekan mencecap udara negeri tulip, termasuk di antaranya melintasi hari kalender 30 April, yang di Belanda dikenal sebagai Koninginnedag alias Queen’s Day alias Hari Ratu.

Queen’s Day adalah sebuah pesta besar. Sepanjang hari penuh di hampir seantero negeri, rakyat berjoget dalam panggung terbuka dan membuka lapak dagangan menjajakan barang bekas mereka. Semalam sebelumnya, hura-hura bertitel Queen’s Night sudah dimulai, tentu semuanya diwarnai bir dan lautan oranye, warna kebesaran kerajaan Holland.

Continue reading “Queen’s Day, it’s time to partij en feestje!”

Lampu Merah Amsterdam

Catatan kenangan dua tahun silam, berkunjung ke kawasan remang-remang Amsterdam.

Red Light District Amsterdam. Pro-kontra legalisasi pelacuran.

Belum ke Jakarta kalau belum ke Monas, belum ke Surabaya kalau belum ke Suramadu, dan belum ke Yogya kalau belum ke Malioboro. Ungkapan-ungkapan semacam itu seperti menjadi penggalan wajib untuk menunjukkan “bukti” betapa kita telah menginjak sebuah kota, lengkap dengan landmarknya. Begitu pula saat tahu saya berada di Belanda, beberapa kawan menyapa, “Sudah ke Red Light District belum?”

Continue reading “Lampu Merah Amsterdam”

I Amsterdam

Catatan kenangan dua tahun silam, serba-serbi menginjak Amsterdam.

Metro alias kereta bawah tanah Amsterdam. Pilihan lain transportasi cepat dan teratur..

Hari Minggu pertama di negeri tulip dipayungi cuaca cerah. Sebagian besar dari kami, 18 aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang hendak mengikuti kursus jurnalisme online selama tiga pekan di Radio Netherland Training Centre (RNTC) membulatkan tekad menjelajah ibukota Belanda.

Pelajaran pertama yang harus kami lewati untuk mencapai Amsterdam adalah bagaimana membeli karcis kereta api via mesin pencetak tiket otomatis. Kami pun langsung berakrab dengan mesin pencetak tiket dengan layar sentuh yang menyajikan layanan bilingual: Dutch and English. Pencet-pencet tangan di atas kaca, selesailah masalah. Saya memilih tiket ke Stasiun Amsterdam Central, untuk satu orang bolak-balik (return) pada hari Minggu, 25 April di kelas 2. Total uang koin yang mesti saya masukkan 8 euro 10 sen.

Continue reading “I Amsterdam”

Ternyata Belanda Benar-Benar Ada

Catatan kenangan dua tahun silam, hari pertama menjelajah Eropa.

Landed at Schiphol. One of the busiest airport in Europe.

Rasa lelah selama dua belas setengah jam perjalanan udara mendadak sirna saat roda Boeing 747-400 milik maskapai Malaysia Airlines (MAS) yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Schiphol, Amsterdam pagi tadi. Sebelum mendarat, kapten pilot mengumumkan lewat pengeras suara bahwa penerbangan sejauh 10.500 kilometer dari Kualalumpur ini akan berakhir dengan cuaca cerah di ibukota Belanda. “Suhu udara di luar sekitar enam derajat celcius,” kata pilot Fahri yang -seperti juga penerbangan MAS lainnya- selalu mengawali sapaan kepada penumpang dengan salam, “Tuan-tuan dan puan-puan.”

Continue reading “Ternyata Belanda Benar-Benar Ada”

Sepenggal Senja di Kaki Sulawesi

Dari era revolusi hingga kini membangun diri sebagai kota modern, Makassar tetaplah primadona wisata. Destinasi plesir nomer satu di Indonesia bagian Timur.

Benteng/Fort Rotterdam. Belum ke Makassar kalau belum ke sini.
Benteng/Fort Rotterdam. Belum ke Makassar kalau belum ke sini.

Jarum jam belum menunjukkan pukul lima petang, tapi matahari sudah beranjak ke langit barat. Inilah suasana khas daerah di kawasan Timur Indonesia: mentari terbit lebih pagi, tapi kemudian tenggelam lebih awal, setidaknya bila dibandingkan kota-kota di wilayah lain.

Continue reading “Sepenggal Senja di Kaki Sulawesi”

Jalur sepeda Yogya: Inisiatif yang belum optimal

Yogya punya jalur sepeda dan jalan alternatif khusus bagi bikers. Optimalkah pemanfaatannya?

Jalan alternatif sepeda. Masih banyak belum dimanfaatkan dan diserobot pengendara motor.

Lebih setahun Pemerintah Kota Yogyakarta menunjukkan kepeduliannya bagi pesepeda dengan menyediakan “jalur sepeda” dan jalan alternatif pesepeda. Hampir di setiap ruas jalan strategis kota Yogyakarta terdapat lajur di sebelah kiri yang khusus dikosongkan untuk para pesepeda, serta petunjuk yang mengarahkan pesepeda menuju jalan alternatif. Tapi, apakah kebijakan itu telah efektif?

Continue reading “Jalur sepeda Yogya: Inisiatif yang belum optimal”

#Football Evangelist: Kafe Persib yang numpang Persib

Kecele. Tak ada kesan lain mewakili kata itu.

Menu andalan kafe Persib. Sop buntut Maung Bandung.

Hampir lima bulan tak menyambangi Bandung, malam ini saya berpikir keras tatkala menghabiskan malam di kota yang bulan lalu berhari jadi ke-200 ini. Inilah Parijs van Java, wilayah tetirah warga ibukota yang identik dengan perempuan manis, pusat mode, pepohonan, bandrek, dan warna biru ini. Apalagi ya yang similar dengan kota bertinggi 768 meter di atas permukaan laut dan dihuni 2,3 juta jiwa ini?

Continue reading “#Football Evangelist: Kafe Persib yang numpang Persib”

Jendela Singapura bernama Bintan

 

Pembukaan Tour de Bintan di Simpang Lagoi, Bintan. Jadi hiburan masyarakat.

Apa bedanya modus turis mancanegara dan wisataman domestik dalam berwisata? “Orang Indonesia itu, misalnya waktu rekreasinya 24 jam, kalau bisa dia di hotel 4 jam, sementara yang 20 jam jalan-jalan. Beda dengan turis asing, mereka rekreasi untuk mencari ketenangan. Kalau bisa, 24 jam di hotel atau sekitar penginapan saja,” kata Aji, seorang pengusaha penyewaan mobil, rekan seperjalanan dalam ferry dari Batam menuju Bintan.
Continue reading “Jendela Singapura bernama Bintan”

Menghantam Batam

 

Bandara Hang Nadim, pintu gerbang utama Batam. Foto dua tahun silam, akhir 2008.

 

Jum’at, 15 Oktober 2010 tercatat sebagai perjalanan kedua saya menghantamkan kaki di Pulau Batam. Yang pertama akhir 2008, saat menyambangi koresponden CVC di kota berpenduduk sejuta jiwa itu. Hari ini, jejak sepatu kets saya kembali tertera di bandar udara Hang Nadim, meski hanya numpang lewat. Berbeda dengan dua tahun silam yang sempat main-main ke Nagoya -pusat kota Batam- kali ini saya hanya mampir bandara, untuk melanjutkan perjalanan ke pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur.

Continue reading “Menghantam Batam”