Notice: Undefined index: host in /home/jojr5479/public_html/wp-content/plugins/wonderm00ns-simple-facebook-open-graph-tags/public/class-webdados-fb-open-graph-public.php on line 1020
AMBISI THE REDS KEMBALI MERANGSEK KE PUCUK PIMPINAN KLASEMEN LIGA INGGRIS/ HARUS TERHENTI//
MAIN DI ANFIELD/ STEVEN GERRARD DAN KAWAN KAWAN SEOLAH BERADA DALAM DEJAVU MUSIM LALU// KALA ITU/ LIVERPOOL DIPERMALUKAN ASTON VILLA 1 – 3 DI RUMAH SENDIRI//
Sejak zaman kompeni sampai Jokowi memerintah, banjir telah lama menjadi sahabat ibukota.
Kartun GM Sudarta pada 1967. Kondisinya tak banyak berubah.
Saat hadir sebagai narasumber dialog Kompas Malam, pekan lalu, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo punya ide cerdas. Ia membawa koleksi Koran Kompas edisi lawas, yang memuat berita utama tentang banjir Jakarta di akhir 1960-an dan 1970-an.
Kompas edisi Sabtu 18 Maret 1967, misalnya. Di halaman muka memasang karikatur karya GM Sudarta, yang memaparkan kontradiksi “Djakarta” pada dua musim berbeda. Digambarkan di sisi kanan, saat musim panas, ibukota penuh dengan kegiatan perbaikan jalan dan kemacetan yang membawa polusi, sehingga dua pemakai jalan tak kuasa menahan asap buruk hasil pembakaran bahan bakar. Di sebelah kiri, musim hujan, jalan yang telah diperbaiki menjadi berlubang, dan genangan air membasahi separuh postur penduduk. Ada yang nyaman berenang, tapi ada juga yang stres mobilnya karam.
Ini video kreatif, sebagai kampanye politik, sekaligus untuk menggambarkan secara sederhana beginilah kondisi bangsa kita saat ini.
http://www.youtube.com/watch?v=ko9UuXpMyec
Ada komentar bernada protes ketika akhir pekan lalu, blog ini dua kali mengangkat inspirasi dari kisah Anas Urbaningrum. Tentang orang-orang dekat yang berada di sisi Anas, dan tentang isterinya, sebagai sumber kekuatan di kala susah. Ada yang mengira dan curiga, saya getol mengagumi atau berpihak membela alumnus FISIP Universitas Airlangga itu. Tentu saja tidak. Saya hanya mengambil inspirasi. Mencoba mengkaji sebuah fenomena dari sudut pandang humanisme dan filosofis.
Berbagai kampanye kian kreatif digencarkan, sebagai antitesa anggapan merokok membahayakan kesehatan dan kehidupan.
Buku & film “Mereka yang Melampaui Propanda pro tembakau.
Banyak cara dilakukan perusahaan rokok, sebagai kampanye agar produknya kian laris. Juga untuk mematahkan anggapan bahwa kebiasaan merokok merupakan gaya hidup tak sehat bisa menyusutkan usia hidup seseorang.
Baru-baru ini saya membaca buku “Mereka yang Melampaui Waktu”, dengan sub judul “Konsep panjang umur, bahagia, sehat, dan tetap produktif”. Tak banyak yang menyangka, buku terbitan Pustaka Sempu & Layar Nusa, Sleman, ini merupakan sebuah kedok dari kampanye industri rokok.
Bertebal 196 halaman, dilengkapi CD film dokumenter besutan sutradara Darwin Nugraha, buku ini memotret 22 buku penuh inspiratif. Laki-laki dan perempuan, berusia senja, seniman, pedagang, filosof, petani, penggembala sapi, tukang cuci, pawing air, dan profesi-profesi lain. Satu yang menjadi persamaan, mereka hidup bersahabat dengan rokok, namun dicitrakan berusia panjang, serta berguna bagi sesama. Tak beda dengan penggambaran rokok yang kerap diidentikkan dengan sportivitas, kejantanan, dan semangat petualangan, kali ini rokok coba dikaitkan dengan sosok-sosok panjang umur nan menginspirasi.
Pendamping hidup memiliki peran sunyi tapi penting, di balik gemerlapnya karir seseorang.
Anas dan Athiyyah. Dalam suka dan duka.
Ada alinea penutup nan menyentuh di antara tulisan Kompas, Sabtu (11/1) dari pokok berita bertitel “Anas Dijerat Tiga Kasus”. Setelah sepuluh alinea menceritakan kabar penahanan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan kisah-kisah yang menyertainya, berita itu ditutup dengan cerita tentang isteri sang tokoh.
Istri Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila, yang ditemui di rumahnya di Duren Sawit, Jakarta Timur, terlihat tabah. ”Iya Mas, di balik suami yang berhasil pasti ada wanita yang kuat yang mendukungnya. Di balik itu ada orangtua yang mendoakan,” kata Thiya.
What a different angle dari sebuah berita besar itu.
Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika. Sahabat di kala susah.
Di balik segala drama tentang Anas Urbaningrum, ada hikmah tentang kentalnya makna persahabatan di sana. Ini bukan kisah tentang mantan ketua umum partai melenggang sendirian ke gedung pemeriksaan KPK, bak seekor domba yang dengan percaya diri menuju tempat penyembelihan. Ini adalah cerita, tentang seorang yang begitu kuat, karena ia punya banyak bayangan pendukung di belakangnya.
Sehari sebelum Anas hadir di KPK pada “Jum’at keramat” (10/1), Gede Pasek Suardika, anggota DPR Fraksi Demokrat yang juga Sekjen Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) menyambangi kantor redaksi Tribun News di Palmerah.
Menikmati hidup dimulai dari bagaimana Anda menikmati pekerjaan.
Bersama Ahok, ‘pendekar kungfu’ ibukota. Berjuang mencari akses ke orang-orang penting.
Dalam menempuh perjalanan karir lebih dari 2,5 tahun di KompasTv, mungkin saya termasuk orang yang beruntung. Baru berkenalan dengan dunia televisi, setidaknya saya telah mengecap tiga meja berbeda. Setengah tahun pertama menjadi korlip, koordinator peliputan yang menaungi pemberitaan di Jakarta dan sekitarnya. Masuk 2012, saya berada di pos koordinator peliputan daerah, berkomunikasi dengan kontributor dari Banda Aceh sampai Timika. Dan, setahun terakhir, saya bergeser di posisi produser dialog, mengurus hal ikhwal tema dan narasumber untuk segmen dialog di program Kompas Pagi, Kompas Petang, dan kini terfokus di Kompas Malam.
Menjadi produser dialog, garda terdepan yang berurusan dengan tamu alias narasumber, memiliki beberapa tuntutan.
Studio Sinten Yogyakarta pintar mencari peluang bagaimana mengabadikan kenangan dengan cara berbeda.
Berempat menerobos masa lalu. Foto kenangan dalam nuansa jadul.
Awalnya, kami melihat dari luar. Jalan raya menuju Tugu, ikon kota Yogyakarta. Sekilas, studio itu nampak unik. Tak sekadar menawarkan sebagai sarana berpose dalam grup, keluarga misalnya. Tapi juga melengkapi diri dengan busana tradisional (wardrobe) dan juga latar belakang (backdrop) bernuansa kuno. Tak salah, Sinten yang berlokasi di Jl Diponegoro, depan Pasar Kranggan, Yogyakarta itu memilih tagline ‘studio foto jang bernoeansa tradisionil Djogja tempo doeloe’.
Pemilik sekaligus fotografer Sinten, Toni Handoko, bercerita, berbagai item barang di Sinten sebagian merupakan koleksi keluarganya. Misalnya, radio tua, rokok jadul, lukisan, topeng, dan juga sangkar burung. “Tapi, barang-barang lain ada yang harus saya hunting ke berbagai tempat,” kata Toni. Ia merujuk pada pintu, jendela, dan berbagai interior lain.
Kini, Kereta Api di Indonesia sudah menjadi moda transportasi yang aman dan nyaman.
Einzel menikmati perjalanan KA Sancaka Yogya-Surabaya. Nyaman bepergian dengan kereta.
Naik kereta api sekarang berbeda dengan dulu. Jangan bayangkan, ada penumpang yang tiduran di atas koran, atau pelaju dengan “ongkos nembak” pada koordinator serta Polisi Khusus KA. Dulu, para “free rider” yang Pulang Jum’at Kembali Ahad, biasa memberikan Rp 50 ribu untuk perjalanan tujuan Yogyakarta yang seharusnya bayar lebih dari dua kali lipatnya. Saya mengalaminya selama 5 bulan, saat hidup terpisah di bulan-bulan awal kelahiran Einzel.
Kini, kereta Indonesia menjadi jauh lebih menyenangkan. Hanya penumpang berkarcis yang boleh masuk ruang tunggu, tak ada lagi karcis peron bagi pengantar. Pedagang di stasiun dibersihkan. Toilet digratiskan. Imbasnya, harga tiket kereta api melangit. Nyaris beda tipis dengan tiket pesawat.